nikah aja, cinta

Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part I

Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia (Part I) – Memasuki dua bulan usia pernikahanku, masih banyak orang yang bertanya bagaimana aku dan suami bertemu hingga akhirnya menikah.

Kutatap suamiku yang sedang berkutat dengan laptopnya sembari mengingat-ingat awal mula kisahku dan suami dimulai.

Ia merupakan teman sekantorku di tempat kerjaku dulu. Sekitar 5 atau 6 bulan aku sekantor dengannya, namun kami tidak pernah sekalipun mengobrol secara langsung.

Aku hanya sebatas mengetahui namanya, hingga suatu hari aku mengalami sedikit kendala saat akan memperpanjang layanan domain blog-ku.

Segera kucoba menghubungi kantorku untuk meminta bantuan dan aku dihubungkan via live chat dengan seorang karyawan bernama Ficky Septian Ali.

Kontak via live chat tersebut merupakan pertama dan terakhir kalinya kami berkomunikasi, tapi entah mengapa namanya tertanam kuat di alam bawah sadarku.

Mungkin karena karyawan bernama Ficky Septian Ali tersebut memanggilku dengan sapaan “pak” sehingga aku merasa sedikit jengkel.

“Ada hal lain yang bisa saya bantu, pak?” Begitu kira-kira pertanyaannya seusai membantu menyelesaikan masalahku.

Dalam hati aku berujar, “oh berarti dia gak tau kalau aku anak kantor”. Mungkin saat itu ia memang belum mengenalku.

Akhirnya aku berkata, “kirim salam buat Mbak Sari dan Mbak Rose”. Aku menyebutkan 2 nama teman dekatku yang se-divisi dengannya agar ia notice bahwa aku juga karyawan di sana.

_____

Hari telah berlalu, bulan telah berganti, setahun kemudian aku telah pindah ke perusahaan lain dan menjalani hari-hari seperti biasa.

Pada suatu waktu, teman sekantorku (yang juga merupakan teman sekantorku di perusahaan sebelumnya) bercerita tentang Grup WhatsApp Kajian di perusahaan tempat kami sama-sama bekerja dulu.

Ia bercerita bahwa seorang temannya yang bernama Ficky-lah yang rutin meng-share poster-poster kajian sunnah di WA Grup tersebut.

Mendengar nama itu aku merasa tidak asing. Aku sadar bahwa ia adalah karyawan di tempat kerjaku yang lama, namun aku sudah lupa bahwa ia pernah membantuku via live chat.

Entah mengapa teman sekantorku ini malah menceritakan tentang asal mula Ficky pindah ke Jogja.

Ia bercerita bahwa Ficky menerima tawaran kerja di Jogja karena ingin hijrah ke kota yang banyak kajian sunnah rutinnya.

Maka Ficky pun berangkat ke Jogja dan ia diberitahu masjid-masjid yang rutin mengadakan kajian.

Aku membaca cerita temanku itu (via Slack – aplikasi kantor) dengan biasa saja dan tidak menanggapinya karena aku merasa tidak mengenal Ficky.

_____

Keesokan harinya, sepulang dari kantor aku menghadiri kajian di Masjid Pogung Raya Jogjakarta seperti biasanya.

Tak disangka, seusai kajian aku didekati oleh seorang akhwat yang terlihat ragu-ragu untuk menyapaku.

Setelah aku tersenyum kepadanya, barulah ia berani membuka mulut.

“Kamu anak MH (re: Manajemen Hutan), bukan?” Tanyanya.

Aku menjawab dengan sedikit bingung, “Iya, mba. Kok mbak tau?”

“Aku sering lihat kamu di Gedung B”. Jawabnya.

Setelah berpikir beberapa detik, barulah aku menyadari bahwa ia adalah kakak tingkatku di kampus.

“Ooh, iya mbak. Kayaknya aku juga sering papasan sama mbak di lift Gedung B. Nama mbak siapa?”

Sekian tahun sering berpapasan di kampus, akhirnya kami pun pertama kalinya berkenalan malam itu, seusai kajian di teras Masjid Pogung Raya.

“Mbak stay di Jogja terus, nih?” Tanyaku, berharap bisa lebih sering berjumpa dengannya di majelis ilmu.

“Pengennya sih, iya. Aku kemarin baru aja wawancara kerja di PragoTechnology. Doain keterima, ya! Biar aku bisa di Jogja terus,” katanya.

Mendengar itu aku pun tersenyum. “Wah, aamiin. Dulu aku juga kerja di PragoTechnology loh mbak, sebelum di perusahaan yang sekarang”.

Kakak tingkatku itu terlihat kaget. “Serius? Mas Yudi sekarang udah mulai dengerin kajian-kajian juga, loh!” Ia menyebut nama salah seorang petinggi di PragoTechnology yang tentu saja aku kenal.

“Alhamdulillah. Semoga beliau semangat terus hijrahnya.” Kataku.

“Aamiin. Aku juga mulai hijrah ini gara-gara baca blog salah satu anak PragoTechnology, Nis.”

“Oh ya? Blog siapa, mbak?” Tanyaku.

“Ada namanya Ficky. Blognya namanya Hijrahdulu.com,” ujar kakak tingkatku tersebut.

Mendengar nama ikhwan ini selama 2 hari berturut-turut dari 2 orang yang berbeda membuatku kepo dengannya dan aku berujung membuka blognya setiba di rumah.

Aku hanya membaca 1 atau 2 artikel di blognya untuk menghilangkan rasa kepoku. Ketika membuka blognya, perasaan iri langsung menyerangku.

Sebagai seorang blogger juga, sudah lama terbesit di benakku untuk memiliki blog seperti miliknya yang khusus berisi artikel-artikel islami. Namun sayangnya belum terealisasi.

_____

Aku yakin Allah selalu mempunyai cara untuk mempertemukan seseorang dengan jodohnya. Bisa saja takdir membuatku berjodoh dengan dia yang sering kudengar namanya.

Selang beberapa bulan kemudian, yaitu pada bulan September 2019 seorang pemuda yang hanya aku ketahui sebatas namanya, mengutarakan niatnya untuk datang ke rumahku.

Pemuda itu benar-benar asing bagiku, namun aku menghargai niat baiknya untuk berkenalan denganku melalui kedua orang tuaku.

Keberaniannya untuk mengenalku melalui kedua orang tuaku membuktikan keseriusannya dalam mencari calon pendamping hidup dengan cara yang benar dan diridhoi Allah.

Aku tidak serta merta memberikan alamat rumahku dan langsung mempersilakannya datang menemui orang tuaku, melainkan ia harus menunggu selama dua bulan lamanya.

Bukan tanpa alasan, sebab Abiku kala itu sedang dinas ke luar kota selama satu bulan. Setelah itu, gantian Ummiku yang harus pergi ke luar kota.

Selama masa penantian kedua orang tuaku pulang, aku menggunakan waktu dua bulan itu untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai ikhwan tersebut.

Kuhubungi teman-temanku yang mengenal ikhwan tersebut dan kutanyakan segala hal tentang dirinya mulai dari yang baik-baik hingga yang tidak baik.

Dari yang awalnya aku tidak memiliki informasi apapun tentangnya (selain nama dan tempatnya bekerja), kini aku sudah memegang cukup informasi untuk mulai bertaaruf dengannya.

Beberapa informasi penting yang aku pastikan darinya sebelum memulai taaruf adalah kelurusan aqidah dan kekokohan manhajnya.

Biiznillah, meskipun aku tidak kunjung memberi kejelasan dan kepastian kapan ia bisa ke rumahku, namun ia tetap menunggu untuk bertemu kedua orang tuaku.

Awal bulan November 2019, akhirnya aku memberikan alamat rumahku dan keesokan harinya ia datang menemui orang tuaku dalam rangka berkenalan atau taaruf.

Sebelum ia datang, berkali-kali aku mengingatkan kedua orang tuaku bahwa pemuda tersebut hanyalah temanku yang baru ingin mengenalku lebih jauh.

Hal ini aku tekankan kepada mereka agar tidak kecewa seandainya putri mereka tidak melanjutkan proses taaruf dengan pemuda tersebut.

Aku juga mengingatkan diri sendiri bahwa takdir akan membuatku berjodoh dengan dia apabila dialah yang menurut Allah terbaik untukku. Jika bukan dia jodohku, maka aku akan menerima dengan lapang dada.

 

3 November 2019

Pemuda itu tengah duduk di ruang tamu bersama Abiku. Ini adalah pertama kalinya aku melihat ia secara langsung.

Wajahnya menyejukkan, walaupun aku buru-buru menundukkan pandangan sesaat setelah menatap wajahnya.

Pertemuan pertama ini akan sangat berpengaruh dalam menentukan apakah proses taaruf ini akan berlanjut ke tahap selanjutnya atau tidak.

Kudengar samar-samar percakapan ikhwan tersebut dengan Abiku dari balik ruang tamu.

“Namanya siapa?” Tanya Abiku kepada sang pemuda.

Dari balik tembok aku bisa mendengar suaranya untuk pertama kali dan jantungku mulai berdegup lebih cepat ketika ia menyebutkan namanya…

“Ficky Septian Ali,” jawabnya.

 

Bersambung di:

 Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part 2

 

5 pemikiran pada “Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part I”

Tinggalkan komentar