Benarkah Pegawai Pajak Diancam Neraka?

Pegawai Pajak Diancam Neraka

Pegawai Pajak Diancam  Neraka? – Beberapa waktu lalu, ada seorang teman di Amerika bertanya tentang harga mobil di Indonesia. Setelah mencari di beberapa lapak jual beli mobil, saya kirimkan fotonya beserta harga, yakni beberapa jenis mobil matic second berumur 2-3 tahun, harganya sekitar 100-150 juta rupiah.

Ketika dia melihat harganya dia terkaget-kaget dan berkata, “Mahal sekali harganya, dan jenis mobilnya juga saya tidak kenal. Kalau di Amerika harga mobil second umur 2-3 tahun seperti Ford double cabin atau Chevrolet cc besar cuma 5000 dollar US atau kalau dirupiahkan cuma 70,600,000 rupiah.”

Artinya dengan harga satu mobil second di Indonesia dapat dibelikan dua mobil yang secara spesifikasi jauh di atas mobil di Indonesia. Lantas, apa hubungannya harga mobil mahal ini dengan judul artikel ini – Pegawai Pajak Diancam Neraka?

Tentu saja saya jelaskan kenapa bisa semahal itu. Penyebabnya pajak mobil yang masuk ke Indonesia sangat tinggi. Mobil termasuk dalam golongan barang mewah dan pajaknya yang diterapkan kepada mesin dan onderdil mobil sangat tinggi. Pada akhirnya harga jual mobil sangat mahal di Indonesia.

Hal ini menjadikan saya semakin paham mengapa pajak dilarang dalam Islam sampai-sampai pekerjaan sebagai pegawai pajak diancam neraka oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Harga akhir sebuah barang menjadi jauh dari harga sebenarnya akibat penerapan pajak tinggi pada barang yang diperjual-belikan.

Mengapa Pegawai Pajak Diancam Neraka?

Di dalam sebuah sesi pembekalan, Ustadz Erwandi Tarmidzi diundang ke sebuah acara semacam seminar yang diikuti oleh Kepala Pajak se-Jabotabek.

Sebelum acara ustadz bertanya kepada panitia, “Bolehkah saya sampaikan ke mereka bahwa secara syariat pegawai pajak adalah pekerjaan terlarang? Seseorang yang bekerja di bidang pajak tidak akan masuk surga? Pegawai pajak diancam neraka?”, dan si panitia menjawab, “Silakan ustadz, gak apa-apa.”

Maka ketika di awal penyampaiannya Ustadz Erwandi Tarmidzi menyampaikan:

“Islam tidak membenarkan berbagai pungutan yang tidak didasari oleh alasan yang dibenarkan, di antaranya ialah pajak. Pajak atau yang dalam Bahasa Arab disebut dengan al-muksu adalah salah satu pungutan yang diharamkan, dan bahkan pelakunya diancam dengan siksa neraka:

إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني

“Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.”

(Riwayat Ahmad dan At Thobrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, dan hadits ini, oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih).

Ketika disampaikan demikian, tiba-tiba situasi di tempat itu sangat sunyi. Pasti mereka merasa kaget mendengar kenyataan bahwa pegawai pajak diancam neraka oleh Allah.

Dan setiap disampaikan demikian selalu muncul pertanyaan jadul, “Kalau gak ada pajak dalam sebuah negara, terus membiayai operasional negara dari mana sumbernya?”.

Kata ustadz, “Ya akhi, apakah Anda tau Negara Arab Saudi? Di sana tidak ada pajak. Semua pembiayaan negara berasal dari sumber daya alam mereka.”

“Lihat jika Anda umroh maka Anda akan lihat jalan-jalan tol yang berkilo-kilometer, bahkan puluhan kilometer kita tempuh, dan itu gratis gak bayar. Bandingkan dengan negara kita, hanya untuk menempuh jalan tol lima kilometer saja kita disuruh bayar.”

“Kalau ada yang berdalih bahwa itu disebabkan Arab Saudi di dalam tanahnya ada minyak, maka ini dalih yang kurang benar, karena jika Arab Saudi punya minyak di dalam tanahnya, kita malah punya minyak di bawah tanah dan di atas tanah berupa kebun sawit, kebun kopi, dst.”

“Lahan pertanian kita jauh lebih luas dari Arab Saudi. Soal kekayaan alam di negeri kita jauh lebih besar. Masalahnya di kemauan saja. Makanya mari kita dakwahkan ke mereka yang memimpin negeri ini agar menggunakan cara islami dalam penyelenggaraan negara, sehingga tidak ada pungutan pajak seperti sekarang ini, yang terlarang secara syariat.”

Banyak terdapat hadist lain yang melarang tentang pemungutan pajak, di antaranya:

“Sesungguhnya, pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka.”

(HR Ahmad 4/109, Abu Daud Kitab Al-Imarah : 7), Hadist ini shahih oleh Al-Albani.

Hadist lainnya yaitu sebuah hadist dari Abdullah bin Buraldah radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku Al-Ghomidiyyah setelah melahirkan anak karena zina. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik pajak bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya.”

(HR Muslim no. 1659)

Demikian alasan-alasan tentang haramnya memungut pajak dalam agama Islam. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari keadaan di negara kita yang masih memungut pajak ini agar Indonesia dapat menjadi negara yang lebih makmur lagi ke depannya. Aamiin.

 

Oleh: Siswo Kusyudhanto

 

Referensi:

almanhaj.or.id

 

Baca juga artikel menarik lainnya: Aisyah Istri Rasulullah dan Biografi Istri-istri Nabi (Part 1)

Jangan Pernah Berhenti untuk Mengajak kepada Kebaikan

Jangan Pernah Berhenti untuk Mengajak Kepada Kebaikan

Sebagai seorang muslim, mungkin kita pernah atau bahkan sering mencoba mengingatkan teman-teman kita untuk melakukan kebaikan. Sudah menjadi fitrah apabila kita senantiasa ingin mengajak kepada kebaikan.

Misalnya ketika adzan sudah berkumandang, mungkin kita pernah mengingatkan teman kita untuk segera bergegas ke masjid. Teman-teman Akhwat juga mungkin sering mengingatkan saudara dan sahabatnya yang belum berhijab untuk mulai mengenakannya.

Wajib bagi seorang muslim untuk mengajak temannya kepada kebaikan. Setiap muslim bagi muslim lain adalah penyeru yang menjadi petunjuk akan kebenaran.

Rasanya tidak sulit untuk mengingatkan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan amal kebaikan. Tetapi, pada kenyataannya tidak pernah semudah itu. Kita mungkin akan mengalami penolakan dari teman, saudara, dan bahkan sahabat terdekat sekalipun. Seakan-akan agama Islam itu semata-mata hanyalah urusan keshalihahan pribadi semata.

Padahal niat kita adalah mengajak teman-teman untuk kembali bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.

 

Kewajiban Mengajak kepada Kebaikan

Sudah menjadi perkara yang maklum dalam Islam tentang kewajiban seseorang untuk mengajak temannya kepada hal yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, membenarkan yang benar, dan membathilkan yang bathil. Namun, ajakan ini tidaklah banyak mendapatkan respon positif, melainkan hanya sedikit.

Tak jarang kita yang membuat ajakan itu, malah mendapat respon kurang menyenangkan. Misalnya seperti ucapan,

“Urus saja dirimu sendiri!”

Atau,

“Agama itu urusan pribadi masing-masing!”

Tanggapan ini pun bagaikan dentuman peluru yang menghancurkan kerongkongan dan menusuk-nusuk pita suara hingga tercekat, membuat kita terdiam seketika.

Padahal jawaban tersebut adalah ucapan yang paling dibenci oleh Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Dan sesungguhnya termasuk dosa yang paling besar di sisi Allah adalah seseorang berkata pada rekannya, “Bertaqwalah kepada Allah”. Lalu dijawab, “Urus saja dirimu sendiri”.” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy, Al-Baihaqiy, Hanaad bin As-Sariy dalam Az-Zuhd, dll. Hadits itu dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 6/188.]

Lantas, apakah kita harus menyerah hanya karena ucapan yang kurang menyenangkan itu?

Tidak. Justru kita harus tetap dan bahkan harus lebih semangat lagi untuk mendakwahkan Islam dan kebaikan-kebaikan di dalamnya.

Mungkin pada ajakan yang pertama teman-teman masih segan. Lalu pada ajakan kedua dan ketiga menolak, bahkan mungkin marah. Tetapi kita tidak pernah tahu pada ajakan berikutnya akan diterima atau tidak, bila kita tidak pernah mencobanya. Karena bisa jadi pada ajakan keempat atau kelima, barulah mereka akan mengikuti ajakan kita kepada kebaikan.

Kita yang baru menerima penolakan dari dakwah selama 3 hari, tidaklah pantas untuk mengeluh. Kita harus tetap berdiri tegak untuk mendakwahkan kebenaran, meskipun kaki-kaki kita gemetaran akibat cambukan dari berbagai penolakan.

Adapun Nabi Nuh ‘alaihis-salam telah berdakwah selama 950 tahun, tidak pernah lelah meskipun hanya sedikit saja dari kaumnya yang mengikuti seruan darinya.

Karena itu, tentu kita tidak perlu bersedih hati apabila masih mendapat penolakan.

 

Agama Islam Tidak Hanya Mengatur Urusan Pribadi

Agama Islam hadir bukan hanya untuk mengatur urusan keshalihan pribadi, melainkan ia hadir sebagai agama yang mengajarkan amar ma’ruf nahi mungkar. Agama Islam hadir untuk membangun peradaban yang terang bersinar.

Apabila Islam adalah agama yang hanya mengatur urusan pribadi, niscaya ia tidak akan pernah keluar dari rumah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia keluar dari rumah Nabi untuk membebaskan kota Mekah dari kesyirikan.

Sejarah mencatat Agama Islam keluar dari Jazirah Arab untuk menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi yang pernah menjadi peradaban terbesar dan termakmur di Eropa. Hal ini tentu saja menjadi bukti bahwa Islam bukan untuk urusan pribadi atau orang Arab saja, namun hadir sebagai rahmat bagi seluruh manusia.

Allah Ta’alla berfirman,

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (seluruh manusia).” [QS. Al-Anbiya: 107]

Bagaimana dakwah ini bisa sampai kepada seluruh manusia, apabila kita tidak ikut turut andil di dalamnya?

Seperti yang kita tahu, perjuangan Islam tidak hanya dilakukan di zaman Nabi Muhammad saja. Perjuangan untuk menyebarkan agama Islam telah diteruskan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan generasi setelahnya hingga sampai ke negeri kita tercinta Indonesia.

Tanpa adanya dakwah mereka, mungkin saat ini kita masih jahil dan melakukan berbagai macam praktik kesyirikan sebagaimana yang dilakukan dan diajarkan nenek moyang. Sampai hari ini, mungkin kita akan menganggap bahwa pemujaan terhadap berhala, pohon yang dikeramatkan, pemberian sesaji kepada jin, pembuatan patung-patung untuk pemujaan, dan lainnya adalah bagian daripada ibadah.

Beruntung generasi-generasi terdahulu telah mendakwahkan Islam sampai ke Indonesia. Sehingga pada hari ini, agama Islam telah menjadi wajah untuk Indonesia sebagai negeri yang beradab karena mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.

Agar wajah indah ini terus bersinar, maka kita sebagai generasi yang hidup pada hari ini harus senantiasa selalu mendakwahkan kebaikan kepada generasi-generasi berikutnya.

(Baca Juga: Kekuatan Doa Sebagai Senjata Terkuat Seorang Muslim)

Keutamaan Menyerukan Kebenaran

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 2674; Abu Dawud, no. 4611; At-Tirmidzi, no. 2674;]

Hadits ini menunjukkan anjuran untuk mengajak kepada perkara-perkara yang baik dan menunjukkan haramnya memberikan contoh dari perkara-perkara yang buruk.

Dakwah di jalan Allah Azza wa Jalla merupakan amal yang sangat mulia, ketaatan yang besar, dan ibadah yang tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran:104]

Seseorang yang memberi nasihat berkaitan dengan agama atau dunia yang bisa mengantarkannya kepada ajaran agama, maka orang itu adalah penyeru kepada petunjuk. Semoga kita termasuk diantara penyeru kebajikan itu.

Adapun dalam mengajak kepada kebaikan, sebelumnya kita harus mencukupi diri kita sebagai petunjuk untuk bisa terus belajar, terus beramal, berdakwah, dan bersabar. Sangat penting untuk memiliki ilmu dan adab sebelum berkata dan menyeru kepada kebaikan.

Karena itu, jangan pernah berhenti untuk terus belajar di majelis ilmu dan mengajak (orang-orang di sekitar kita) kepada kebaikan.

 

Penutup

Demikian artikel ini ditulis. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan pada penulisan artikel ini. Silakan memberi kritik dan saran kepada penulis. Jangan lupa juga untuk mengikuti kami di Instagram dan Facebook. Bagikan artikel ini kepada teman-teman di sekitar kita. Semoga artikel ini bermanfaat dan membuat kita semakin istiqomah pada jalan hijrah kita.

Jazaakumullahu Khairan.

 

Ditulis pada:

Senin, 1 Juni 2020

 

Sahabatmu,

Ficky Septian Ali

 

Gambar:

Akidah Islam

akidah islam

Akidah Islam: Menunaikan Hak Allah Atas Hamba

Akidah Islam adalah suatu ikatan yang ada diantara makhluk dan penciptanya dengan keyakinan hati yang disertai pembenaran terhadap sesuatu. Sehingga akidah islam ini juga bisa diartikan tentang keimanan seseorang kepada sang pencipta dengan kemantapan hati tanpa adanya keraguan sedikitpun.

Pernah dalam suatu ketika, pasti kita pernah bertanya untuk apa Allah menciptakan kita? Apakah kita memiliki ikatan dengan Allah?

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku.”

[QS. Az-Zariyat: 56]

Allah menciptakan kita untuk beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun.

Hal ini adalah landasan yang mendasari bahwa kita sebagai makhluk senantiasa terikat kepada pencipta agar senantiasa hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak ada sekutu baginya.

Dan tentu saja karena ikatan ini Allah memiliki hak atas hambaNya agar senantiasa beribadah tanpa sedikitpun menyekutukannya dengan perbuatan syirik. Ibadah yang dimaksud mencakup perkara yang Allah cintai berupa perkataan dan perbuatan.

 

Perendahan Diri Kepada Allah

Ibadah adalah perendahan diri yang hanya boleh diberikan kepada Allah Ta’ala semata. Salah satu bentuk perendahan diri ini ada pada sujud kita ketika melaksanakan sholat untuk meninggikanNya. Ketika sujud kita senantiasa berzikir yang artinya,

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.”

Ibadah juga mencakup terkait perkara seperti berdoa, shalat, penyembelihan dan lain-lain. Allah berfirman,

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (Nusuk), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” [QS. Al-An’am: 162]

Tentu saja kita hanya diperkenankan untuk beribadah hanya kepada Allah semata. Namun, saat ini ternyata masih banyak orang-orang di negeri kita tercinta yang masih berdoa dan meminta-minta kepada selain Allah.

Ironisnya juga masih banyak pelaku kesyirikan yang menyembelih hewan untuk selain Allah, seperti adat istiadat yang masih ada di sekitar kita.

Perbuatan syirik tersebut adalah penghalang ikatan antara hamba dan Allah. Penghalang ini yang menyebabkan negeri kita tercinta masih belum bisa berjaya.

 

Akidah Islam Mengantarkan Kaum Muslimin pada Kemenangan dan Kejayaan

Kaum muslimin akan menang apabila mereka kembali kepada akidah yang benar dan murni. Di mana saat itu kaum muslimin kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat.

Dan mereka (kaum muslimin) menyebarkan dan menyuarakan tauhid dan berhati-hati terhadap kesyirikan dan rupa yang bermacam-macam.

Dan saat itu telah mempersiapkan kekuatan semampu mereka untuk menghadapi musuh.

Ketika kita menolong agama Allah, maka niscaya Allah akan menolong kaum muslimin dan meneguhkan kedudukan dengan kemenangan-kemenangan.

Kemudian saat itu kaum muslimin berjaya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

[QS. Muhammad: 7]

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dengan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi. Sebagaimana Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka. Kita semua tahu bahwa Allah yang memberikan kekuasaan dan kerajaan yang luas kepada Nabi Sulaiman Alaihissalam dan Dzulqarnain di muka bumi.

Dan bukan tidak mungkin, Allah akan memberikannya kembali kepada kaum muslimin di waktu-waktu yang akan datang.

Kejayaan dan kemenangan ini hanya bisa didapatkan apabila kaum muslimin telah mengokohkan agama mereka tanpa sedikitpun menyekutukan Allah.

 

Bagaimana Cara Beribadah Kepada Allah?

Ibadah adalah puncak kecintaan yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri. Karena itu ibadah harus didasari dengan rasa cinta, takut dan berharap kepada Allah. Tentu saja dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada Allah semata.

Ibadah harus ihsan, yakni senantiasa merasa diawasi Allah ta’ala. Kita harus beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihatNya. Dan apabila kita tidak melihatnya, maka sesunggunya Allah selalu melihatmu.

Allah ta’ala berfirman,

“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”

[QS. Asy Syu’ara: 217-219]

Ibadah yang terbaik haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasulnya, tanpa menambah dan menguranginya sedikit pun.

Hal ini dikarenakan agama Islam telah sempurna, maka sudah cukup dengan ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan saja. Tidak perlu menggabungkannya dengan ajaran lain, apalagi membuat ajaran-ajaran baru yang tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Azza Wa Jalla berfirman,

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …”

[Al-Maa-idah: 3]

Jadi menambah dan membuat ajaran-ajaran baru ini belum tentu Allah ridhai. Karena itu, saya ingin mengajak teman-teman pembaca agar senantiasa tetap dengan ajaran yang murni. Sebagaimana yang terus dilanjutkan dari generasi sahabat sampai kepada kita saat ini.

Sebagai hamba yang beriman, kita harus senantiasa mentaati Allah dan Rasul. Kemudian janganlah kita sampai membatalkan amalan-amalan yang telah dilakukan, hanya karena mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

“Siapa saja yang mengamalkan suatu amalam yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak (yakni tidak diterima).”

[HR. Muslim: 1718]

 

Meminta dan Memohon Pertolongan Hanyalah Kepada Allah

Salah satu hal yang ingin saya singgung pada artikel kali ini adalah berkaitan dengan memohon dan meminta pertolongan yang hanya Allah semata yang bisa mengabulkannya.

Saat ini marak terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam agama kita yang sampai masuk kepada kategori syirik besar (Syirik Akbar).

Syirik besar adalah memalingkan ibadah kepada selain Allah. Seperti berdoa kepada selain Allah, meminta atau memohon pertolongan kepada orang yang sudah mati dan lainnya.

Kita hanya boleh meminta dan memohon pertolongan kepada Allah terkait dengan hal-hal yang mana hanya Allah saja yang bisa mengabulkan. Misalnya seperti meminta rezeki, meminta anak, meminta hujan dan lain sebagainya.

Namun, masih saja bisa kita temukan disekitar kita ada yang meminta pertolongan kepada selain Allah. Seperti meminta rezeki di kuburan dan lain sebagainya.

Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa meminta rezeki di kuburan hanya karena beranggapan dahulunya penghuni kubur tersebut adalah orang shalih.

Sementara orang di dalam kubur tersebut tidak bisa mendengar permintaan dan permohonan orang tadi. Justru orang yang di dalam kubur itu yang sebenarnya membutuhkan pertolongan, malah dimintai pertolongan.

Orang-orang yang sudah meninggal tidaklah mungkin bisa mendengar doa. Dunia yang saat ini kita tinggali berbeda dengan alam barzakh yang menjadi batas dengan akhirat. Mereka tidaklah mendengar apapun yang saat ini disuarakan di dunia.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhkan engkau tidak bisa menjadikan orang yang mati bisa mendengar.”

[QS. An-Naml: 80]

Hal ini menunjukan bahwa orang mati tidaklah mememiliki kekuatan apapun, sekalipun untuk mendengarkan suara yang ada di dunia.

Dan segala macam hal yang berkaitan dengan syirik besar ini menyebabkan dosa besar karena telah menyekutukan Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya,

“Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar.”

[QS. Luqman: 13]

Adapun doa tidaklah membutuhkan perantara seseorang, karena itu biasakan untuk berdoa dan langsung meminta pertolongan kepada Allah.

 

Larangan Menyanjung Nabi Berlebihan

Jangankan orang biasa yang sudah mati, kita juga dilarang berdoa dan bersumpah kepada selain Allah bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Karena Allah lebih berhak dan lebih kuasa atas segala sesuatu. Seandainya Nabi Muhammad bisa mengabulkan sesuatu, tentu seharusnya Nabi mampu membuat pamannya Abu Thalib memeluk islam. Nabi Muhammad sendiri tidak bisa membantu untuk memberikan petunjuk / hidayah kepada pamannya saat itu. Allah berfirman,

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

[QS. Al-Qashsas: 56]

Karena itu, tidak sepatutnya bagi kita berlebih-lebihan dalam menyanjung Rasul. Jangan sampai menganggap seperti Allah yang berhak akan segala sesuatu.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam menyanjungku, sebagaimana orang-orang Nasrani yang berlebih-lebihan dalam menyanjung Isa bin Maryan. Aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah: Hamba Allah dan RasulNya.”

[HR. Al-Bukhari]

Allah juga berfirman yang artinya,

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Allah itu adalah sesembahan yang esa”.  [QS. Al-Kahfi:110]

 

Akidah Islam Tentang Di mana Allah

Saat ini ada banyak sekali yang menyebutkan bahwa Allah berada di mana-mana. Namun, tentu saja ini jelas melenceng dari apa yang sudah ditetapkan.

Akidah Islam yang benar terkait Allah adalah akidah yang mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy yang berada di atas langit. Bahkan Imam ke empat madzhab juga sepakat terkait hal ini.

(Baca juga: Empat Imam Madzhab Sepakat Bahwa Allah Berada di Atas Langit)

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Allah Yang Maha Pemurah yang beristiwa’ di atas ‘arsy.”

[QS. Thaha: 5]

Seorang muslim yang memiliki akidah yang benar seharusnya mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy. Tentu saja bukan berarti Allah butuh terhadap ‘arsy. Sebagaimana Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi melalui Malaikat Jibril.

Allah menghendaki untuk berada di atas ‘arsy dan Allah sama sekali tidak butuh dengan ‘arsy, justru ‘arsy yang butuh kepada Allah. Allah juga yang menghendaki untuk menyampaikan wahyu melalui Malaikat Jibril.

Jadi ini sudah cukup menjawab tuduhan apabila Allah berada di atas ‘arsy maka Allah butuh ‘arsy.

Allah juga tidak butuh terhadap ibadah-ibadah kita, justru kita yang butuh dan harus beribadah. Allah menghendaki agar hamba-hambanya beribadah kepadanya.

Sederhananya seperti itu.

Allah berada di atas ‘arsy dan senantiasa tetap dekat dengan kita. Allah bersama kita dengan pendengaranNya, penglihatanNya dan ilmuNya.

 

Syarat-syarat Diterimanya Amalan

Adapun syarat-syarat diterimanya amalan di sisi Allah, diantaranya:

  1. Beriman kepada Allah dengan mentauhidkannya.
  2. Ikhlas yaitu beramal karena Allah tanpa riya’ dan sum’ah.
  3. Melakukan amalan sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam.

Setelah itu istiqamah dan senantiasa memurnikan ketaatan hanya kepadaNya. Tentunya dengan memurnikan akidah kita, di mana selalu memegang teguh Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana pemahaman para sahabat.

Al Qur’an terkait dengan hal yang langsung dari Allah dan As Sunnah berkaitan dengan Nabi.

Kemudian, salah satu penyebab dari tertolaknya amalan adalah karena mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.

Beramal dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits

Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk agar kita mengamalkannya. Karena itu, penulis ingin mengajak teman-teman pembaca untuk membaca dan beramal dengan Al-Qur’an.

Allah ta’ala berfirman,

“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian.”

[QS. Al-A’raf: 3]

Kemudian diwajibkan pula kepada kita agar berpegang teguh dengan Sunnah (Hadits Sahih). Tentu saja terkait ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan para khalifah yang mendapatkan petunjuk.

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan setiap yang Rasul berikan kepada kalian, ambilah. Dan setiap yang beliau larang, maka tinggalkanlah.”

[QS. Al-Hasyr:7]

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“

[Sahih Riwayat Ahmad]

Sebagai seorang mukmin, kita tidak bisa mencukupkan diri dengan Al Qur’an tanpa Hadits. Bayangkan tanpa adanya Hadits ini kita tidak akan tahu bagaimana tata cara Sholat dan lainnya.

Karena itu, kita harus berpegang teguh kepada keduanya dan tentu saja harus dengan pemahaman yang lurus.

 

Demikian artikel ini dibuat.

Sejatinya artikel ini adalah sedikit rangkuman dari kitab Khudz Aqidataka karya dari Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Kebetulan saya mendapatkan kesempatan untuk mengkaji di Dauroh Indonesia Bertauhid bersama Ustadz Raehanul Bahrain di Masjid Pogung Dalangan.

 

Saya juga menerima kritik dan saran. Mohon diberikan nasihat apabila ada kesalahan kata dan lainnya.

Terima kasih telah membaca artikel sampai dengan baris ini. Semoga bermanfaat.

 

Salam hangat,

Ficky Septian Ali