Aku Mencintaimu Karena Allah

Aku Mencintaimu Karena Allah

Mungkin diantara kita sesama muslim sudah sering mendengar kalimat “Aku Mencintaimu Karena Allah”.

Ya. Kita bisa ucapkan kalimat ini kepada saudara-saudara muslim kita, bahkan hukumnya wajib. Ketika seseorang membuat kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka ia telah berikrar untuk saling mencintai satu sama lain.

Cinta adalah penghubung di antara kaum muslimin dan cinta adalah sebab dari indahnya ukhuwah dalam dekapan sesama Mukmin.

Ketika kita berbicara tentang cinta, maka sebaiknya kembali kepada ajaran Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam. Agama kita telah mengatur tentang cinta dan menjadikannya sebagai ruh dari semua amalan.

Cinta adalah bagian dari ibadah dan tidak akan pernah bisa dipisahkan.

Cinta adalah sebab pelukan erat seorang ibu kepada anak bayinya yang baru lahir.

Cinta adalah benih yang membuat peradaban kita masih ada sampai hari kiamat.

Cinta adalah kepingan rindu yang dibawa oleh seorang istri yang ditinggal suaminya safar.

Tanpa cinta, hati kering; bagaikan ladang yang tidak pernah diguyur hujan bertahun-tahun lamanya.

Adapun cinta yang paling berat timbangannya di Mizan, adalah cinta kepada Allah dan mencintai sesuatu karena Allah.

Dan adapun orang-orang yang paling beruntung di Yaumul Mizan adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah.

 

Kisah Fathimah Binti Qais dan Kecintaannya Kepada Allah

Fathimah binti Qais adalah salah satu Shahabiyah (sahabat wanita) yang berpandangan luas. ia termasuk di antara wanita-wanita yang hijrah pada gelombang pertama.

Ketika Fathimah binti Qais telah habis masa ‘iddahnya dan dua orang laki-laki datang melamarnya, maka ia mengadu kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Fathimah binti Qais berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya masa ‘iddahku telah selesai dan datang dua orang laki-laki melamarku. Mereka adalah Muawiyah dan Abu Jahm. Bagaimana pendapatmu, Rasulullah?”

Beliau Rasulullah berkata kepada Fathimah,

“Wahai Fathimah, Adapun Abu Jahm itu tidak cocok denganmu karena tongkatnya selalu berada di atas pundaknya. Ia biasa memukul istri. Sedangkan Mu’awiyah itu miskin (tidak memiliki banyak harta). Maka menikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.” Fathimah berkata, “Aku awalnya enggan.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Menikahlah dengan Usamah.” Akhirnya, aku memilih menikah dengan Usamah, lantas Allah mengaruniakan dengan pernikahan tersebut kebaikan. Aku pun berbahagia dengan pernikahan tersebut.

[HR. Muslim no. 1480]

Fathimah adalah seorang wanita yang cerdas dan cantik, terbukti dari kecantikannya itu datang dua orang laki-laki untuk melamarnya. Salah satu diantaranya adalah Mu’awiyah yang memiliki wajah tampan.

Namun, kecintaan Fathimah kepada Allah dan Rasulullah telah membawanya untuk menikah dengan Usamah. Padahal sebelumnya ia tidak menyukai Usamah.

Fathimah pun pernah berkata,

“Demi Allah pagi itu tidak ada laki-laki yang paling aku benci, melebihi bencinya aku kepada Usamah. Kenapa aku harus menikah dengannya? Tetapi karena aku mentaati perintah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, maka Allah jadikan Usamah menjadi laki-laki yang paling aku cintai.”

Fathimah pun merasakan kebagaiaan dari cintanya kepada Usamah karena Allah.

Semoga kita bisa mengambil faidah dari kisah ini. Kita perlu tahu, bahwasanya kecintaan dan kebencian ada ditangan Allah Azza wa Jalla. Allah akan memberikan cinta kepada yang mentaati-Nya dan Allah akan menanamkan saling benci kepada yang tidak mendurhakai-Nya.

Cinta dan benci harus dilandaskan karena Allah.

 

Aku Mencintaimu Karena Allah

Adapun kita sebagai seorang manusia katanya tidak bisa hidup tanpa cinta. Kita hidup untuk mencintai dan selalu ingin dicintai.

Kita terkadang lupa untuk memulai kisah cinta dari mana.

Teman-teman yang aku cintai, marilah untuk memulai cinta dengan mentaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

Kita yang saat ini mungkin sedang lupa, mari mengingat hal ini kembali.

Beberapa waktu yang lalu, aku pun begitu. Aku pernah lupa bagaimana untuk mencintai dan dicintai, sampai aku ingat untuk memulainya dari Allah dan Rasulnya.

Sehingga aku pun tidak berharap cinta, kecuali dicintai dan diridhoi oleh Allah.

Aku pun kembali Allah dan Allah mempertemukan aku dengan seorang wanita muslimah. Ia adalah perempuan yang sangat asing dan aku tidak memiliki informasi sedikit pun tentangnya.

Lantas, aku takut untuk memilihnya.

Kemudian di antara rasa takut itu, Allah menggerakan hatiku untuk datang bertemu bapaknya.

Hingga akhirnya seorang perempuan itu pun tepat hari ini telah menjadi istriku.

Siapa yang menyangka?

Sebuah bahtera yang hampir karam, akhirnya menepi pada sebuah daratan. Ia telah ridho terombang-ambing di lautan yang menghancurkan dirinya perlahan. Rasa cintanya kepada Allah mengalahkan semua rasa sakit yang dideritanya.

Bahtera ini telah menemukan pelabuhan cinta pertama dan terakhirnya.

Terima kasih telah membuat hatiku berlabuh.

Wahai Istriku! Izinkan aku untuk pertama kali dan seterusnya berkata tentang ini.

Kataku,

“Aku mencintaimu karena Allah”

Semoga kita bisa saling mencintai karena Allah dan senantiasa mendapatkan pertolongan-Nya.

Aamiin.

 

Yogyakarta, 22 Maret 2020.

Ficky Septian Ali

 

Artikel ini ditulis untuk istriku tercinta, Nisa Husnainna.

 

Gambar:

 

Allah Tidak Pernah Salah Memilih Pundak Siapa yang Akan Diamanahi Ujian

Bagaimana Kita Bisa Menghadapi Ujian dari Allah

Bismillah. Dalam perjalanan hidup ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kita akan dihadapkan pada berbagai ujian dan tantangan. Setiap individu memiliki pengalaman unik yang membentuk jalan hidupnya masing-masing. Namun, adakalanya kita merasa terbebani oleh ujian-ujian tersebut dan meragukan kemampuan diri sendiri. Namun, dalam kegelapan yang melanda, tak pernah lupakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pencipta dan Pengatur segalanya, tidak pernah salah memilih pundak siapa yang akan diberi amanah ujian.

Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah (2:286): “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Ayat ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui kapasitas dan potensi yang dimiliki oleh setiap individu. Dia tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan kita. Meskipun terkadang ujian terasa berat dan sulit, Allah telah memilih kita dengan bijak untuk menghadapinya. Dia percaya bahwa kita mampu mengatasi setiap cobaan yang diberikan-Nya.

Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, mengetahui kapasitas dan potensi yang ada dalam diri setiap individu. Allah tidak akan memberikan ujian atau beban yang tidak dapat kita tanggung. Sebagai Pencipta yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah mengetahui batas kemampuan dan daya tahan kita.

Allah Maha Adil terhadap hamba-Nya

Hal ini menunjukkan bahwa Allah sangat adil dalam memberikan ujian kepada hamba-Nya. Allah tidak memberikan beban yang berlebihan yang akan membuat kita hancur dan putus asa. Allah ﷻ memberikan ujian dan tantangan sebagai sarana untuk menguji keimanan dan keteguhan hati kita. Ujian ini juga membentuk karakter dan kepribadian kita, serta memperkuat hubungan kita dengan-Nya.

Ketika kita menghadapi ujian dan beban, terkadang kita merasa lemah dan tidak mampu menghadapinya. Namun, Allah ﷻ menegaskan bahwa Dia tidak pernah membebani seseorang melebihi kemampuannya. Ketika kita merasa terbebani, kita harus mengingat bahwa Allah Sang Pencipta, adalah Dzat yang Maha Kuasa. Dia memberikan ujian tersebut karena Dia yakin bahwa kita mampu menghadapinya dengan bantuan-Nya.

Seiring dengan ujian yang Allah berikan, Dia juga memberikan bimbingan dan pertolongan-Nya. Allah tidak hanya meninggalkan kita sendirian dalam menghadapi ujian, tetapi Dia memberikan jalan keluar dan bantuan yang kita butuhkan. Ketika kita memohon pertolongan dan berusaha sekuat tenaga untuk menghadapi ujian dengan penuh keikhlasan, Allah akan memberikan bantuan-Nya yang tak terhingga.

Ujian dikala Hijrah

Dalam konteks hijrah, ujian dan perubahan adalah bagian yang tidak terpisahkan. Hijrah merupakan suatu bentuk perubahan dari keadaan yang sebelumnya. Ketika kita hijrah menuju kebaikan dan meninggalkan keburukan, kita akan diuji dalam kekuatan tekad dan kesungguhan kita dalam menegakkan kebenaran. Allah ﷻ memberikan ujian-ujian tersebut sebagai bagian dari proses hijrah kita. Dalam hijrah, kita harus menghadapi berbagai tantangan dan hambatan yang dapat menguji iman, keteguhan hati, dan ketaqwaan kita kepada Allah ﷻ

Tatkala kita menghadapi tantangan hidup, tidak ada gunanya merasa rendah diri atau meragukan diri sendiri. Kita harus ingat bahwa Allah ﷻ adalah Maha Bijaksana dalam segala ketentuan-Nya. Dia memberikan ujian kepada kita dengan tujuan untuk menguji kesabaran, keteguhan iman, dan ketulusan hati kita. Ujian tersebut merupakan kesempatan bagi kita untuk tumbuh dan berkembang, serta mendekatkan diri kepada-Nya.

(Baca Juga: 3 Alasan Harus Memilih Manhaj Salaf)

Dalam sejarah Islam, kita dapat melihat contoh-contoh teladan para sahabat Nabi dan generasi salaf yang telah melalui berbagai ujian yang berat. Mereka mampu menghadapinya dengan penuh keimanan dan kekuatan, karena mereka yakin bahwa Allah ﷻ tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya. Mereka menjadikan ujian sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ketekunan dalam beribadah, dan memperkuat ikatan mereka dengan-Nya.

Hikmah dari cobaan yang Allah berikan

Kita juga diberi tuntunan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menguatkan keyakinan kita tentang kebijakan Allah dalam memberikan ujian. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang paling dicobai.”

Namun, dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kabar gembira kepada umatnya bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang paling dicobai. Firman Nabi kita ini mengandung makna yang dalam dan memberikan kita pandangan yang lebih baik tentang hikmah di balik ujian-ujian tersebut.

Allah mencintai hamba-Nya yang paling dicobai karena ujian adalah sarana untuk menguji kesabaran, keimanan, dan keteguhan hati seseorang. Allah adalah Maha Mengetahui tentang potensi dan kemampuan setiap individu-Nya. Dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Dia memberikan ujian sesuai dengan kemampuan yang Dia berikan kepada hamba-Nya. Allah tidak memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan kita untuk menghadapinya.

Melalui ujian, Allah ﷻ  ingin menguji sejauh mana kita bertahan dalam menjaga iman dan ketaqwaan kepada-Nya. Ujian juga merupakan sarana untuk membersihkan jiwa dan menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan. Ketika kita menghadapi ujian dengan kesabaran dan keikhlasan, kita dapat memperoleh pahala yang besar dan mendapatkan ampunan dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Quran, Surah Al-Baqarah (2:286): “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Selain itu, ujian juga memiliki tujuan untuk membentuk karakter dan kepribadian kita. Ujian yang kita alami dapat mengasah ketekunan, keberanian, dan ketabahan dalam menghadapi tantangan hidup. Kita bisa belajar banyak dari pengalaman-pengalaman ujian yang kita hadapi, seperti keteguhan hati, keikhlasan, dan rasa syukur kepada Allah dalam segala situasi.

Dalam menghadapi ujian, kita harus mengingat bahwa Allah tidak pernah memberikan ujian tanpa memberikan jalan keluar.

Barakallahu fiikum.

Sumber:

Pentingkah Kita Menikah dengan yang Satu Manhaj? Ini 5 Alasannya!

menikah dengan yang satu manhaj

Menikah dengan yang Satu Manhaj? – Ketika antum akan menikah, sangat penting rasanya untuk memilih calon yang sebanding atau setara dengan kita.

Baik sebanding dalam hal pendidikan, pekerjaan, keturunan, atau sesuku (misalnya sama-sama suku Jawa, sama-sama suku Minang, dan lain sebagainya).

Namun, apabila antum ditanya “Seberapa penting kita menikah dengan yang semanhaj?”, kira-kira apa yang akan antum jawab?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita telaah dulu beberapa hal penting dalam memilih pasangan hidup.

1. Pilih Karena Ketaqwaannya kepada Allah

Allah menciptakan manusia dengan bermacam-macam warna rambut, warna kulit, warna mata, bentuk tubuh (kurus, gemuk, tinggi, pendek), ada yang cerdas, ada yang biasa-biasa saja, ada yang kaya, ada yang miskin, namun semua itu tidak berarti di mata Allah melainkan ketaqwaannya.

Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Tidak peduli seberapa tampan atau cantik seseorang, yang membedakan kedudukannya di mata Allah hanyalah ketaqwaannya.

Taqwa letaknya di dalam hati. Tatkala seseorang takut kepada Allah lalu ia meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah, maka ia tergolong orang yang bertaqwa.

Mengapa poin nomor 1 dalam memilih pasangan hidup ini paling penting? Karena kemaslahatan rumah tangga terletak pada ketaqwaan kepada Allah.

Semakin bertaqwa suami, istri, dan anak dalam sebuah keluarga, maka semakin besar pula kemaslahatan yang akan dirasakan oleh rumah tangga tersebut.

menikah satu manhaj
menikah dengan yang satu manhaj

2. Sebanding Antara Calon Laki-laki dan Perempuan (Sekufu)

Dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 26 disebutkan bahwa Allah akan memilihkan pasangan untuk kita sesuai dengan keadaan kita.

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”

Dari ayat tersebut jelas kita harus berusaha untuk meningkatkan kualitas keagamaan kita jika menginginkan pasangan hidup yang agamanya baik pula.

Pada zaman Rasulullah terdapat peristiwa di mana sepasang suami-istri bercerai karena mereka merasa tidak sekufu. Pasangan itu adalah Zainab binti Jahsyi dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah.

Zainab merupakan seorang wanita suku Quraisy yang terkemuka, sedangkan Zaid adalah seorang mantan budak Khadijah. Status Zaid sebagai mantan budak tersebut terkadang mengganggu pikiran Zainab.

Zainab dan Zaid dinikahkan oleh Rasulullah namun rumah tangga mereka tidak bertahan lama. Dari peristiwa ini Allah ingin menurunkan hikmah yaitu meskipun Zainab dan Zaid sama-sama bertaqwa, tapi keduanya tetap harus sekufu.

3. Bahagia Tatkala Dipandang

Laki-laki dan perempuan yang akan menikah diperintahkan untuk melakukan nadzor, yaitu memandang atau melihat calon yang akan dinikahi.

Rasulullah memerintahkan untuk melihat calon kita terlebih dahulu. QS. Ar-Ruum ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Salah satu sifat wanita shalihah yaitu ada kesenangan apabila suaminya memandangnya. Salah satu kewajiban istri terhadap suami adalah berhias atau berdandan di hadapan suaminya agar suaminya senang memandangnya.

Lalu bagaimana jika kita sudah merasa cocok dengan calon kita hanya dari melihat keluarganya (misal ayahnya, ibunya, adiknya) kita sudah merasa cocok dan merasa tidak perlu lagi melihat wajah calon?

Hal ini tidak disarankan karena bukan merupakan sunnah nabi. Walaupun sudah merasa cocok dengan anggota keluarganya, hendaknya ia tetap melihat calonnya.

4. Untuk Perempuan, Hendaknya Memilih Laki-laki yang Mampu Memberi Nafkah

Kita dapat menilik kisah Fathimah binti Qais yang pada waktu itu tengah bimbang memilih calon suaminya, Mu’awiyah atau Abu Jahm.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Adapun Abu Jahm, maka ia tidak bisa melepas tongkat dari bahunya. Sedangkan Mu’awiyah, ia miskin tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”

[HR Muslim no. 1480].

Fathimah berkata dengan tangannya yang bergerak-gerak demikian, “Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya adalah lebih baik bagimu.” Fathimah berkata, “Maka aku pun menikah dengannya (Usamah) dan aku menjadi gembira.”

Kita lihat bahwa Rasulullah tidak menyarankan Fathimah binti Qais menikah dengan Mu’awiyah karena ia merupakan laki-laki yang tidak memiliki harta.

Beliau juga tidak menyarankan Abu Jahm karena ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (beberapa tafsir menyebutkan kasar/mudah memukul, beberapa menyebutkan sering bepergian).

5. Berasal dari Keluarga yang Mulia, Terdidik Agamanya, dan Sholeh

Salah satu maslahat menikah adalah menjaga nasab untuk saling menyambung persaudaraan (ukhuwah) sehingga dapat terjaganya sebuah masyarakat dari perbuatan-perbuatan kerusakan.

Rasulullah juga akan berbangga dengan banyaknya jumlah umatnya di akhirat kelak. Maka dari itu penting bagi kita untuk memilih pasangan yang berasal dari nasab yang baik agar kelak dapat melahirkan umat Muhammad.

Lantas, bagaimana cara mengetahui agama dan akhlak calon kita itu baik?

  1. Tanyakan pada teman-teman dan sahabatnya. Tapi yang ditanya haruslah orang yang amanah dan jujur sehingga ia akan mengatakan apa adanya, tidak membagus-baguskan ataupun menjelek-jelekkan calon kita.
  2. Untuk wanita yang akan memilih calon suami, minta wali anti untuk menanyakan dengan orang di masjid tempat tinggal calon anti, apakah calon anti sering sholat berjamaah di masjid atau tidak.

Baca juga: Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia

Pentingkah Kita Menikah dengan yang Satu Manhaj?

Apabila kita selalu mengikuti tuntunan Rasulullah dalam setiap langkah di kehidupan kita, insya Allah hidup kita akan diberkahi oleh Allah.

Begitupun ketika memilih pasangan hidup. Apabila dalam memilih pasangan hidup kita benar-benar memperhatikan sunnah dan tuntunan Rasulullah, pernikahan kita akan dipenuhi keberkahan.

Dari kelima poin tips memilih pasangan hidup di atas, sampailah kita pada pertanyaan: Seberapa penting kita menikah dengan yang satu manhaj?

Syaikh Shalih bin Muhammad Asy-Syilasy dalam tabligh akbarnya di Yogyakarta kembali mengingatkan bahwa penting bagi kita untuk menikah dengan yang satu manhaj, yaitu manhaj salaf. Mengapa demikian?

Beliau menyampaikan bahwa suami istri yang satu manhaj maka kesamaan batinnya seragam. Apabila suami istri berbeda manhaj, maka yang sering terjadi di rumah tangganya adalah pertikaian karena batinnya tidak seragam.

Kembali kita diingatkan akan pentingnya manhaj dalam beragama. Mengapa kita harus mengikuti manhaj salaf dalam beragama Islam?

Salaf adalah generasi pertama para sahabat. Pada zaman itu, agama Islam sudah sangat sempurna tanpa adanya penambahan ataupun pengurangan. Para ulama bersepakat barangsiapa yang tidak mengikuti manhaj salaf, ia telah menyimpang jauh dalam beragama.

Kita adalah umat Islam yang berjumlah banyak, namun kita terpecah belah. Maka dari itu Allah berfirman, “Taatilah Rasul dan Tuhan kalian dan janganlah kalian berpecah belah sehingga menjadi lemah”.

Jika kita telah menyadari tengah berada di zaman fitnah (yang ditandai dengan terpecah belahnya umat Islam menjadi beberapa golongan), solusinya adalah berpegang teguh dengan Al-Quran dan Sunnah.

Sesungguhnya umat muslim akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang selamat, yaitu golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh Rasul dan para sahabat.

Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan.”

Para sahabat pun bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab,

“Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh aku dan para sahabatku.”

(HR. Tirmidzi no. 2641, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Penutup

Kita menikah tidak hanya sebatas untuk di dunia saja, namun juga kita menikah berharap akan dipertemukan kembali di surga kelak.

Apabila pasangan hidup kita di dunia tidak semanhaj, lantas bagaimana kita dapat menjamin akan bertemu dengan pasangan kita lagi di akhirat kelak?

Demikian artikel singkat yang dapat kami bagikan. Semoga dapat bermanfaat bagi kaum muslimin di manapun berada, terutama untuk yang hendak menyempurnakan separuh agamanya.

Semoga bagi yang ingin menikah, dimudahkan untuk mendapat calon yang semanhaj dan yang sudah mendapat pasangan semanhaj diberi keistiqomahan untuk selalu berada di atas manhaj salaf.

 

Daftar Pustaka:

https://almanhaj.or.id/4253-sisi-kehidupan-muawiyah-bin-abi-sufyan-radhiyallahu-anhuma.html

Mendulang Faidah dari Hadits Perpecahan Umat