Nisa Husnainna A full-time wife, a part-time content writer. Trying to inspire others and being a good servant of Allah.

Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part 2

4 min read

Takdir Membuatku Berjodoh part 2

Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part 2

Sebelum antum membaca cerita Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part 2 ini, baca terlebih dulu kisah sebelumnya di: Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part I

3 November 2019 – Nazhor

“Orang mana?” Abiku melanjutkan pertanyaan.

“Cilacap, pak”.

“Kerjanya di?” Tanya Abiku lagi.

Aku tidak mendengar sisa percakapan mereka karena Ummi memanggilku ke dapur.

“Antarkan minumannya ke ruang tamu,” ujar Ummiku.

“Eh, nggak ummi aja yang nganterin?” jawabku.

Ummi menatapku dengan heran. “Ya kamulah. Kalau ummi yang nganter nanti malah ummi dikira kamu”. Aku bisa melihat Ummi sedikit menahan tawa.

“Hmm, oke.” Aku bertanya lagi, “Nanti habis nganter minum, kakak tetap stay di ruang tamu atau balik ke dapur?” Tanyaku.

“Di ruang tamu,” jawab Ummi.

Sebenarnya dalam hati aku berharap agar langsung kembali ke dapur saja setelah mengantar minuman, tapi ternyata aku diminta ikut duduk di ruang tamu.

Aku berjalan menuju ruang tamu sambil membawa nampan berisi minuman untuk tamu dan Abiku dengan perasaan sedikit canggung.

Bagaimana tidak canggung? Aku akan duduk dalam jarak yang sangat dekat dengan pemuda itu untuk pertama kalinya, bersama kedua orang tuaku.

Kuletakkan gelas minuman di hadapan si pemuda dan Abiku, kemudian aku duduk di sebelah Ummiku.

Percakapan antara pemuda itu dengan kedua orang tuaku berlangsung selama 1,5 jam. Selama 1,5 jam itu, Abiku yang lebih banyak bertanya kepada si pemuda. Sedangkan aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka.

Pukul 21.05 WIB, tibalah saatnya si pemuda berpamitan untuk pulang. Ia berpamitan dengan sopan kepada kedua orang tuaku, sementara aku berpura-pura sibuk merapikan gelas bekas minuman.

Setelah pemuda bernama Ficky itu pulang dan suara motornya bergerak menjauh, Abi kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu kemudian menatapku dalam-dalam.

“Kak Nisa, dia serius”, ujar Abi.

“Hah? Maksudnya?” Aku tidak paham maksud dari perkataan Abiku.

“Ya dia serius taaruf. Tadi pas pulang dia bilang, kalau diizinkan dia mau datang ke sini lagi sama orang tuanya”.

Mendengar itu, aku terdiam. Bagaimana bisa ia langsung seyakin itu denganku (akan mengajak kedua orang tuanya) padahal ia baru satu kali bertemu denganku. Informasi tentangku yang ia dapatkan dari teman-temanku mungkin juga tidak banyak.

“Kakak belum tau, bi.” Jawabku singkat.

“Ya kita lihat seiring berjalannya waktu,” ujar Abiku.

Aku yakin Abi melihat keraguan dan kebingungan masih membayangiku. Dan sepertinya Abi juga paham bahwa seiring waktu berlalu, aku masih bisa berubah pikiran.

Malam itu, aku melaksanakan sholat istikhoroh agar diberi kemantapan hati untuk menerima atau menolak kunjungan lanjut dari pemuda tersebut.

Hasil dari istikhoroh yang aku rasakan adalah kemantapan hati untuk membuka pintu rumahku kembali untuk pemuda itu.

 

4 Januari 2020 – Khitbah

Tak lama berselang setelah kunjungan pertamanya ke rumahku, Ficky pun mengutarakan niatnya untuk datang ke rumahku lagi namun tidak sendirian, melainkan bersama keluarganya.

Akan tetapi, kedua orang tua Ficky tidak bersedia datang ke rumahku jika hanya untuk tujuan silaturahmi semata.

Orang tua Ficky hanya mau berkunjung ke rumah akhwat yang diceritakan anaknya apabila tujuannya lamaran atau khitbah.

Dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa ada seorang ikhwan yang berniat mengkhitbah (melamar) membuatku tertegun beberapa saat.

Aku langsung teringat ilmu pra nikah yang pernah aku dapatkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya. Jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.”

(HR. Tirmidzi, hasan)

Abiku sempat menekankan hal ini kepada Ummiku, dengan tujuan agar Ummi mengingatkanku untuk tidak menolak pinangan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya.

Standar baiknya agama dan akhlak yaitu melakukan hal-hal yang diperintahkan Allah serta menjauhi hal-hal yang dilarang Allah.

Berdasarkan informasi yang telah aku kumpulkan dari orang-orang yang kenal baik dengan Ficky, aku dapat menarik kesimpulan bahwa pada dirinya terhimpun agama dan akhlak yang baik.

Dari teman-temanku aku mengetahui bahwa ia mendirikan sholat 5 waktu di masjid, tidak melakukan hal yang diharamkan seperti merokok dan pacaran. Hal ini cukup bagiku untuk memantapkan hati ke arah khitbah.

Menjelang tanggal khitbah yang telah ditentukan, terkadang aku masih memiliki keraguan apakah ikhwan ini mampu menjadi imam yang baik buatku.

Apabila keraguan seperti itu menyerangku, Ummi selalu mengingatkan bahwa jika aku mencari laki-laki yang tidak memiliki kekurangan, niscaya aku tidak akan pernah menemukannya.

Tanggal 4 Januari 2020, dilaksanakanlah proses khitbah (lamaran) antara aku dan Ficky yang Alhamdulillah berjalan dengan baik dan lancar.

Seluruh keluarga besarnya datang ke rumahku untuk ‘memintaku’ dengan cara yang baik, pun keluarga besarku menyambut kedatangan dan pinangan mereka dengan baik pula.

Hari itu menjadi salah satu hari bersejarah dalam hidupku, karena hari itu menandakan bahwa sudah ada pria yang akan menikahiku dan aku tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain.

 

22 Maret 2020 – Walimatul ‘Ursy

Akhirnya hari besar yang kami tunggu-tunggu telah tiba. Hari Ahad, 22 Maret 2020 aku dan Ficky resmi menikah. Walau di tengah pandemi Corona, perasaan suka cita tetap meliputi kami dan keluarga.

Meskipun satu minggu menuju pernikahan (walimatul ‘ursy) aku sempat panik dengan adanya pandemi Corona, namun aku bersyukur Allah masih menakdirkan aku dan Ficky untuk menikah di tanggal yang telah ditetapkan.

Terlaksananya pernikahan antara aku dan Ficky adalah ketentuan Allah, yang apabila dipikir-pikir adalah hal yang tidak pernah kami sangka sebelumnya.

Kemudahan kami untuk dapat terhubung kembali bukan hanya dikarenakan kami berada dalam satu circle pergaulan atau pertemanan yang sama, tapi karena pertolongan Allah.

“Ternyata dulu itu aku loh yang jawab pertanyaanmu di live chat. Waktu itu aku minta maaf karena manggil kamu ‘pak’. Ingat nggak?”, ujar suamiku yang kusambut dengan tawa.

“Terus kamu juga waktu itu kirim salam buat Mbak Sari dan Mbak Rose.” Imbuhnya. (Baca kisah ini di postingan sebelumnya: Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part I)

“Hahaha iya aku inget”. Jawabku sambil bergumam dalam hati “Aku kirim salam buat anak kantor supaya kamu notice aja kalau aku juga karyawan kantor. Jadi problemku segera disolved. Wkwkwk.”

Kami, dua orang asing yang tidak berteman sebelumnya, tidak pernah mengobrol, tidak pernah bertemu sebelum nazhor, akhirnya Allah persatukan di pelaminan.

Pemuda yang kini telah menjadi suamiku tersebut bercerita bahwa ia bahkan sempat bertanya tentang diriku kepada temannya,

“Kira-kira kalau aku nanti ketemu dia, aku bakal tertarik gak? Dia gak ada cacat fisik, kan? Tangannya dua, kan?”

Aku spontan tertawa ketika mendengar cerita suamiku itu. Begitu minimnya informasi yang kami miliki satu sama lain sebelum taaruf ternyata menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lucu di benak suamiku.

Aku pun menjadi flashback ke saat menjelang pernikahan. Adikku yang paling besar pernah bertanya padaku, “Kakak gak takut mau nikah sama orang yang gak terlalu dikenal? Nanti kalau habis nikah ternyata orangnya beda gimana?”

Namun belum sempat aku menjawab, adikku sudah menjawab sendiri pertanyaannya, “oh iya, kalian kan cuma mencari ridho Allah, ya”.

Aku tersenyum mendengarnya. Memang benar, aku hanya ingin menjadi orang yang bertaqwa dengan menikahi seseorang karena agamanya. Adapun soal cinta aku yakin akan tumbuh sendiri setelah menikah.

 

Life After Married

Kedua matanya fokus menatap layar laptop, jemarinya sibuk di atas keyboard, namun aku tahu kedua telinganya mendengarkan isi kajian Ustadz Khalid Basalamah yang sedang ia putar.

Sesekali ia juga memutar murotal di sela-sela jam kerjanya. Tak lupa kuucapkan Alhamdulillah atas salah satu karunia, nikmat, dan rezeki yang telah Allah berikan padaku berupa suami seperti dirinya.

Memasuki 3 bulan usia pernikahan, perasaan cinta dan sayang di antara kami pun telah tumbuh bahkan bertambah terus setiap harinya.

“Mencintai seseorang yang dinikahi kan wajib hukumnya,” ujar suamiku.

Lama kelamaan aku dan suami pun semakin menyadari bahwa kepribadian dan karakteristik kami sangat mirip. Ternyata memang benar apa yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an bahwa jodohmu adalah cerminan dirimu.

Kami juga memiliki visi yang sama, yaitu berdakwah melalui media. Suamiku mencari istri seorang content writer yang dapat membantunya mengelola website ini dan aku juga ingin berkontribusi menulis di website ini, yang alhamdulillah telah menginspirasi banyak orang untuk hijrah.

Hingga kini kami sangat bersyukur tidak memulai pernikahan yang suci ini dengan berpacaran. Kami bersyukur sudah diberi hidayah untuk berhijrah sebelum menikah sehingga pernikahan kami dapat dibangun di atas dasar ketaqwaan kepada Allah.

Karena jikalau kami menikah dalam keadaan jahil mungkin saja kami tidak tahu tujuan dari pernikahan, akan dibawa ke mana pernikahan tersebut, hak dan kewajiban suami istri, dan lain-lain.

Meskipun saat ini ilmu kami juga masih sangat sedikit, tapi kami bertekad untuk terus belajar, selalu saling memberikan yang terbaik untuk pasangan, serta selalu mengharapkan keberkahan di rumah tangga kami.

Demikian kisah taaruf saya dan suami (Takdir Membuatku Berjodoh dengan Dia – Part 2), semoga menginspirasi! ^^

Dapatkan berbagai jenis kurma dan oleh-oleh khas Arab premium, halal, termurah, dan original dari Saudi di:  Toko Kurma Hawa

Nisa Husnainna A full-time wife, a part-time content writer. Trying to inspire others and being a good servant of Allah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *