hijrah, Menikmati Karya Ulama

Pengen Ibadahmu Diterima? Syarat dan Ketentuan Berlaku

Mau dapat untung, ada syarat dan ketentuannya. Mau dapat pahala, tentu pakai S&K juga.

Bismillah. Alhamdulillah. Washalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

Masih bersama Riyadhush Shalihin, buah karya Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf bin Muury bin Hasan bin Husain, atau lebih dikenal dengan nama Al Imam An Nawawi rahimahullahu ta’ala.

Dalam sebuah bab penting.

Yang sangat penting untuk diperhatikan dari awal: ikhlas dan menghadirkan niat pada setiap amal, ucapan, dan keadaan –baik nampak maupun tersembunyi.

Ayat Ke-2

Ayat ke-2 dalam bab ini adalah Surah Al Hajj ayat ke-37. Allah ﷻ berfirman

 لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya

Sebuah ayat yang menunjukkan bahwa Allah itu maha kaya, tidak butuh dengan sembelihan-sembelihan tersebut.

Yang akan sampai kepada Allah adalah keikhlasannya, berharap pahala darinya, dan kebaikan niatnya.

Hanya menginginkan wajah Allah, tidak ada berbangga-bangga, atau riya’, atau sum’ah, dan bukan pula sekedar kebiasaan penyembelihan kurban.

Inilah yang dijelaskan oleh seorang ahli tafsir, yaitu Asy Syaikh As Sa’di dalam tafsirnya.

https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura22-aya37.html 

Tahukah anda, ada kisah apa di balik turunnya ayat tersebut?

Darah dan Daging di Ka’bah

Ibnu Katsir – seorang ulama tafsir, menjelaskan hal ini dalam tafsirnya. 

https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura22-aya37.html

Beliau mengatakan bahwa kaum musyrikin dahulu di masa jahiliyah, apabila mereka melakukan penyembelihan kurban maka mereka memercikkan darah dan meletakkan daging hewan sembelihannya di Ka’bah.

Melihat hal itu para shahabat mengatakan bahwa kami lebih berhak untuk melakukan hal itu.

Kami lebih berhak untuk memercikkan darah dan meletakkan daging hewan sembelihan di Ka’bah.

Maka turunlah ayat tersebut, Al Hajj ayat 37.

Tidak akan sampai darah dan dagingnya kepada Allah.

Tapi ketaqwaan itulah yang akan sampai dan diterima oleh Allah, serta diberikan pahala di dalamnya.

Ini Syarat dan Ketentuannya?

Apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin tersebut, tidaklah memenuhi syarat diterimanya ibadah.

Tidak ada perintah untuk memercikkan darah dan meletakkan daging hewan sembelihan di baitullah.

Tidak ada perintah dari syariat untuk melakukan itu semua

Dan tidak pula mereka melakukannya untuk dipersembahkan kepada Allah.

Mereka mempersembahkan sembelihan itu untuk sesembahan mereka, yang dengan itu semua mereka mempersekutukan Allah.

Adapun para sahabat, mereka ingin memberikan persembahan kepada Allah, tetapi dengan cara yang tidak diperintahkan.

Maka turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bahwa ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat: ada perintahnya dan ikhlas mengerjakannya.

Yang Penting Itu Diterima

Ayat ini membuka mata kita.

Bahwa dalam beramal, yang terpenting adalah: bagaimana amalan ini diterima Allah.

Bukan semata-mata dilihat dari kuantitas.

Bukan pula semata dari semangat yang membara.

Atau banyaknya pihak yang mengerjakan.

Atau terlihat keren di mata manusia.

Sebuah amalan, jika hal itu tidak diperintahkan, maka bukanlah ketaatan.

Dan jika sebuah amalan, telah ada perintahnya, berarti itu merupakan ketaatan, maka perjuangkanlah keikhlasan dalam mengerjakannya..

Cara Berpikir Cerdas

Ini sebagaimana dikatakan oleh seorang shahabat yang mulia, sepupu Nabi ﷺ sekaligus menantu beliau, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu

كونوا لقبول العمل أشد اهتماما منكم بالعمل

Lebih fokuslah dalam mengupayakan agar amalan diterima, dibandingkan mengerjakan amalan tersebut.

Hilyatu Aulia, Juz 1 Hlm. 75, https://app.turath.io/book/10495?page=245

Ini cara berpikir cerdas yang diajarkan shahabat yang mulia.

Lebih fokuslah memikirkan bagaimana shalat saya bisa diterima, dibanding shalat itu sendiri.

Dan gunakan kaidah ini untuk amalan-amalan lainnya.

Bukan berarti tidak mengerjakan shalat dengan alasan saya belum fokus untuk mengupayakan shalat saya bisa diterima.

Justru upaya pertama yang harus diupayakan agar shalat diterima adalah mengerjakan shalat itu sendiri.

Namun tidak berhenti di sini, fokus berikutnya adalah mengupayakan agar shalat tersebut diterima.

Dengan apa caranya?

Dengan memperbaiki kualitas pengerjaanya.

Dan dengan menghadirkan keikhlasan serta niat beramal hanya untuk Allah.  

Diterima = Taqwa

Fokus agar amalan diterima adalah upaya terbesar meraih ketakwaan.

Sebagaimana firman Allah ketika menceritakan kisah dua anak nabi Adam.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Amalan yang diterima Allah hanyalah amalan dari orang-orang yang bertakwa.

Allah hanya menerima amalan dari orang yang bertakwa.

Berarti ketika amalan itu diterima, maka pelakunya adalah orang yang bertakwa.

Dan jika orang tersebut sudah mencapai derajat takwa, maka yang akan dia dapat adalah surga.

Oleh karena itu banyak dari kalangan shahabat yang mengatakan kalimat dengan maknanya: jika aku tahu satu saja amalanku ini diterima, itu lebih aku cintai daripada harta yang berlimpah.

Bahkan mereka mengatakan: jika aku tahu satu ibadahku diterima, aku siap mati di saat itu juga.

Kenapa demikian?
Karena itulah saat terbaik untuk mati.
Saat terbaik untuk mengakhiri kehidupan.

Dan bisa dipastikan itu dalam kondisi khusnul khatimah.

Namun, itu adalah bagian dari hal yang ghaib.

Mengetahui diterima tidaknya sebuah amalan secara pasti, adalah hal ghaib.

Yang bisa kita lakukan adalah beramal semaksimal.

Dan melihat tanda-tanda yang nampak, sebagai tanda diterimanya amal.

Perjuangkan Keikhlasan

Maka jangan hanya mengatakan: ayo shalat.

Tapi, katakan: ayo perjuangkan shalat dengan ikhlas.

Jika hanya fokus dengan amalan lahiriah, sehingga lalai atau bahkan tidak memperjuangkan keikhlasan, maka nasibnya akan tragis.

Sebagaimana kisah tiga orang yang pertama kali diadzab pada hari kiamat.

Bacalah kisah ini secara lengkap dalam hadits yang cukup panjang.

https://almanhaj.or.id/11965-riya-dan-bahayanya-2.html 

Masing-masing dari ketiga orang tersebut telah Allah beri nikmat.
Yang dengan nikmat itu, mereka mampu melakukan amal kebaikan.

Berupa perjuangan di peperangan, mengajarkan ilmu dan membaca Al Qur’an, serta bersedekah.

Namun pencapaian amal itu ternyata tidak diisi dengan niat yang lurus dan ikhlas.

Berperang agar disebut pahlawan.

Membaca Al Qur’an agar disebut qari.

Bersedekah agar disebut dermawan.

Dan semua itu telah mereka peroleh.

Sebutan-sebutan di dunia itu telah mereka peroleh.

Mendapatkan gelar kebaikan di mata manusia.

Tapi kehinaan dalam pandangan Allah.

Sehingga mereka diberikan balasan dengan adzab.

Diseret di atas wajah mereka.

Menuju api neraka.

Semoga Allah melindungi kita dari niat yang buruk.

Tetap Beramal, Tetap Berjuang

Hadits tentang tiga orang yang masuk neraka tersebut bukan berarti menjadi pendorong kita untuk tidak memperbanyak amal.

Tetapi itu merupakan peringatan keras bagi para pelaku riya’ dan sum’ah.

Sebesar apapun amalannya, jika tidak ikhlas maka semakin besar adzabnya.

Yang perlu kita lakukan adalah: tetap beramal.

Tetap mengerjakan kebaikan.

Dan di saat yang sama, memperjuangkan keikhlasan.

Melawan keinginan untuk riya dan sum’ah.

Serta meminta pertolongan kepada Allah agar ibadahnya diterima.

Wa shalallahu ‘alaa nabiyyinaa muhammad. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Referensi

Keyword:

Kurban, Syarat Ibadah, Taqwa, Ikhlas, Cerdas

Tinggalkan komentar