Hijab Nusantara: Apakah Wajah Muslimah Adalah Aurat? – Syari’at yang paling inti dari Islam tercakup dalam Rukun Islam dan sering dikenal dengan Lima Pilar Islam. Di dalam Lima Pilar tersebut terdapat banyak syari’at bercabang yang harus dipatuhi, seperti menutup aurat.
Sebagaimana tertera dalam kitab Fath al-Qarib karya Syaikh Ibn Qasim, diterangkan bahwa aurat laki-laki dan hamba sahaya baik di dalam maupun di luar shalat adalah anggota tubuh antara lutut dan pusar.
Sedangkan aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik dzahirnya maupun batinnya hingga kedua pergelangan tangannya.
Sementara itu, aurat wanita merdeka di luar shalat (dengan kehadiran ajnabi) adalah seluruh tubuhnya.
Hukum wajib tersebut datang dari ayat Al-Qur’an, bahkan terdapat ayat yang khususnya memerintahkan muslimah untuk menggunakan jilbab.
Perintah Hijab dan Asbabun Nuzulnya
Syari’at hijab turun lewat ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang perintah bagi wanita mu’min untuk menutup tubuhnya dengan jilbab. Perintah ini tertera pada Q.S. Al-Ahzab ayat 59:
يآاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ulama ahli tafsir meriwayatkan bahwa sababun nuzul dari ayat tersebut adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. di mana terdapat dua wanita yang keluar dari rumahnya untuk mendatangkan hajatnya (buang air), salah satu dari dua wanita itu adalah wanita merdeka dan yang satu lagi adalah seorang ammah (budak).
Dalam perjalanannya untuk mendatangkan hajat, dua wanita tersebut berpapasan dengan seorang fasiq yang menggoda mereka. Setelah kejadian ini diadukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka turunlah Q.S. Al-Ahzab ayat 59 sebagai syari’at bagi muslimah untuk menggunakan hijab agar terhindar dari godaan orang-orang fasiq.
Ayat ini apabila dinisbatkan kepada muslimah, maka nilai ibadahnya setara dengan menegakkan ibadah fardu seperti sholat dan puasa.
Cara Berhijab dan Ketentuannya
Dikutip dari kitab Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, berdasarkan Q.S. al-Ahzab ayat 59, syarat hijab yang sesuai dengan syari’at adalah:
- Al-Hijab menutupi seluruh tubuh, karena firman Allah SWT: يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ
- Al-Hijab tebal, tidak tipis. Karena tujuan dari hijab sendiri adalah untuk menutupi, jika hijab tidak mampu untuk menutupi pandangan maka belum bisa disebut sebagai hijab.
- Al-Hijab tidak berupa perhiasan. Sebagaimana pada Q.S. An-Nur ayat 31 mengenai larangan memperlihatkan keindahan bagi perempuan.
- Al-Hijab lebar, tidak sempit. Maksudnya hijab tidak membungkus badan dan masih ada ruang tersisa antara tubuh dengan kain.
- Al-Hijab tidak diberi wewangian yang bisa menarik perhatian laki-laki.
- Al-Hijab atau pakaian tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Kajian mengenai hijab di atas merupakan salah satu bentuk Islam normatif (teori) yang melahirkan tafsir dan hukum fikih yang bersangkutan dengan kajian hijab sendiri. Sedangkan dalam kajian Islam historis mengenai hijab, terdapat beberapa perbedaan terhadap fenomena yang sering dijumpai mengenai praktek hijab. Salah satunya seperti hijab tanpa menutup wajah.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa wajah muslimah adalah aurat di luar shalatnya. Bagaimana dengan muslimah Nusantara yang pada umumnya tidak menggunakan niqab (cadar) dalam kesehariannya?
Disebutkan dalam kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an, bahwa pendapat yang memperbolehkan wanita tidak menutupi wajahnya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
(1) tidak diberi hiasan apapun, seperti bedak dan lainnya yang memiliki tujuan berhias.
(2) yakin aman dari fitnah.
Maka dengan normatif tersebut, timbul tegangan Islam normatif-historis terhadap kajian hijab Nusantara.
Hijab dan Menghindari Fitnah
Kebolehan untuk tidak menutupi wajah bagi muslimah dapat diterapkan pada sisi Islam historis yang mana pada umumnya wanita Nusantara tidak menggunakan niqab (cadar) dalam kesehariannya, sehingga tidak dikhawatirkan muncul fitnah karena memang sudah umum dan tidak ganjil dalam budaya Nusantara.
Di dalam sudut historis hijab pada wanita Timur Tengah, umumnya wanita pada daerah tersebut menggunakan niqab dalam kesehariannya, dan tujuan dari tradisi niqab tersebut adalah menghindari timbulnya fitnah. Hal ini pun memunculkan sebuah pepatah ‘al-niqabu adatun wa laysa ibadatun’ (cadar adalah tradisi dan bukanlah ibadah).
Perlu diingat bahwa yang harus dihindari adalah fitnah, maka yang dianggap ibadah justru usaha untuk menghindari fitnah tersebut.
Seringkali didapati muslimah Nusantara memakai hijab tanpa memperhatikan kaidah syari’at yang sudah disebutkan di atas. Begitu banyak model hijab yang bermunculan di media sosial dan perdagangan. Dan gaya hijab pun ditentukan dengan apa yang sedang trending atau hanya agar terlihat cantik saja.
Hal ini bertentangan dengan norma hijab yang tertera di atas, yang mana salah satu tujuan dari hijab adalah untuk menutupi keindahan wanita guna menjaga kehormatannya.
Baca juga artikel menarik lainnya: Aisyah Istri Rasulullah dan Biografi Istri-istri Nabi Lainnya
Sudah seharusnya kita sebagai muslim untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan syarat-syaratnya. Namun sebelumnya, alangkah baiknya jika perbaikan itu dilatih pada diri sendri telebih dahulu.
Salah satu langkah utama dalam memperbaiki diri tidak selalu dengan menegakkan amalan-amalan yang sangat banyak dan beragam. Terkadang dengan menghindari hal-hal yang kurang baik dan kurang tepat sudah cukup untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan menjaga diri dari fitnah akhir zaman.
Misalnya seperti mulai menghindari berhijab dengan mengikuti trend, berhijab dengan riasan tebal, ataupun menghindari menggunakan pakaian ketat. Tindakan-tindakan tersebut sudah memiliki nilai sendiri dalam mendirikan norma-norma syari’at.
Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi:
- Muhammad ibn Qasim al-Ghazi, Syarh Fath al-Qarib al-Mujib, Beirut: Daar Ibn Hazm, 2005.
- Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Tafsir Ahkam al-Qur’an fi ma Yata’allaqu bi Umuur al-Nisa’ min Rawa’i’ al-Bayan, Kediri: Daar al-Qur’an, 2018.