Akhlak kepada Sesama Manusia: Ketika Memberi dan Memaafkan Dapat Mendekatakan Diri Kepada Allah

Akhlak kepada Sesama Manusia

Akhlak adalah pembiasaan. Ia bukan sekadar teori, bukan pula sekadar tutur kata manis di depan banyak orang. Akhlak adalah perilaku yang tumbuh dari dalam diri, dari kebiasaan hati yang terus dilatih untuk taat kepada Allah.

Karena sejatinya, akhlak yang baik kepada manusia lahir dari akhlak yang baik kepada Allah. Jika hubungan kita dengan Allah lurus, maka hubungan dengan sesama pun akan indah. Sebaliknya, ketika seseorang mudah marah, dengki, atau sulit memaafkan, sering kali itu tanda bahwa ada yang belum benar dalam hatinya kepada Sang Khaliq.

Akhlak kepada Allah, Sumber Segala Kebaikan

Akhlak mulia kepada Allah berarti menempatkan-Nya di posisi tertinggi dalam hidup kita. Ada tiga bentuk utamanya:

  1. Menerima dan membenarkan semua yang datang dari Allah.
    Apapun yang Allah turunkan melalui wahyu, kita terima dengan lapang dada. Seperti firman-Nya:

    “Tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, mereka memiliki pilihan lain tentang urusan mereka.” [QS. Al-Ahzab: 36]

  2. Taat terhadap hukum-Nya.
    Seorang mukmin sejati akan berkata, “Sami‘na wa atha‘na” — kami dengar dan kami taat. Taat meskipun berat, karena ia tahu bahwa setiap perintah Allah adalah kebaikan bagi dirinya.

  3. Ridha terhadap takdir-Nya.
    Baik yang menyenangkan maupun menyakitkan, semua datang dari Allah. Dan ridha terhadap ketentuan-Nya adalah puncak akhlak seorang hamba.

Ketika seseorang sudah berakhlak baik kepada Allah, ia akan mudah berakhlak baik kepada sesama. Sebab hatinya sudah jinak dengan takdir, lembut dengan ujian, dan tenang dengan ketentuan.

Akhlak kepada Sesama, Buah dari Iman yang Benar

Hasan al-Bashri pernah berkata, “Akhlak yang mulia itu ada tiga: tidak mengganggu orang lain, suka memberi, dan selalu menampakkan wajah yang menyenangkan.”

Akhlak yang baik bukan diukur dari banyaknya ilmu, tapi dari seberapa jauh seseorang membuat orang lain merasa aman di sekitarnya. Nabi ﷺ bersabda:

“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Memberi adalah inti dari akhlak. Memberi bukan hanya harta, tapi juga senyum, maaf, dan waktu. Dan benar, memberi jauh lebih sulit daripada meminta — apalagi memberi maaf.

Memberi dan Memaafkan: Dua Ciri Penghuni Surga

Al-Qur’an menggambarkan ciri penghuni surga bukan semata karena banyaknya amal, tapi karena ketulusan hati dalam memberi dan memaafkan:

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS. Ali Imran: 134]

Memberi meski dalam keadaan sulit, dan memaafkan ketika disakiti — inilah puncak akhlak. Karena itu, kemuliaan akhlak seseorang terlihat dari seberapa besar ia mampu memberi dan memaafkan dalam kondisi apapun.

(Baca Juga: Ainallah.. Dimana Allah?)

Kisah Nabi Yusuf: Memaafkan dalam Luka yang Dalam

Nabi Yusuf ‘alaihissalam pernah dikhianati oleh saudara-saudaranya sendiri. Ia dibuang ke sumur, dijual sebagai budak, dan dipenjara tanpa kesalahan. Tapi ketika akhirnya Allah mengangkat derajatnya menjadi penguasa Mesir, Nabi Yusuf tidak menyimpan dendam. Beliau berkata,

“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, semoga Allah mengampuni kalian.” [QS. Yusuf: 92]

Subhanallah, inilah akhlak seorang Nabi yang telah menyatu dengan makna sabar dan maaf. Ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi dengan doa dan ampunan.

Kisah Nabi Muhammad ﷺ: Memaafkan Penduduk Thaif

Begitu pula Nabi Muhammad ﷺ ketika dilempari batu di Thaif hingga berdarah. Malaikat Jibril menawarkan untuk membalikkan gunung dan menimpa mereka, tapi Rasulullah ﷺ menolak. Ia berkata dengan lembut,

“Aku berharap dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Bayangkan, di tengah luka dan penghinaan, beliau masih mendoakan kebaikan bagi orang yang menyakitinya. Inilah akhlak yang lahir dari cinta sejati kepada Allah — bukan karena lemah, tapi karena kuat menahan diri.

Melatih Akhlak: Proses Sepanjang Hidup

Akhlak yang baik tidak muncul dalam semalam. Ia perlu dilatih dan diingatkan terus-menerus. Karena manusia tidak sempurna — kita pasti pernah menyakiti dan disakiti. Maka solusi terbaiknya bukan balas dendam, tapi saling memaafkan dan berlapang dada.

Allah memerintahkan dalam firman-Nya:

“Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
[QS. Al-A‘raf: 199]

Sikap mengalah bukan tanda kalah, tapi tanda hati yang sudah menang melawan egonya. Orang yang sabar dan memaafkan bukan orang lemah — justru itulah kekuatan sejati. Nabi ﷺ bersabda,

“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Penutup: Akhlak, Jalan Menuju Kedekatan dengan Allah

Akhlak adalah bukti hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya. Semakin baik hubungan kita dengan Allah, semakin lembut pula sikap kita kepada sesama.

Maka, perbanyaklah memberi, meski sedikit. Perbanyaklah memaafkan, meski berat. Karena di situlah letak kemuliaan sejati.
Dan ingatlah, akhlak yang baik bukan bawaan lahir — ia adalah hasil dari hati yang terus dilatih untuk tunduk kepada Allah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *