Dunia di Mata Seorang Mukmin VS Orang yang Maftun dengan Dunia – Di antara pembaca sekalian, pasti ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki kampung akhirat.
Di antara kita ada yang maftun dengan kehidupan dunia, ada pula yang benar-benar sangat kuat orientasinya terhadap perkara akhirat.
Dunia di mata seorang mukmin, yang pertama seperti yang digambarkan oleh Allah dan Nabi serta Rasul-Nya yakni dengan gambaran-gambaran yang semua menunjukkan tentang betapa singkat, rendah, dan hina kehidupan dunia.
Hal ini bukan dalam rangka agar kita melepas total kehidupan dunia karena kita tidak mungkin bisa berpisah dengan dunia. Saat ini saja kita sedang hidup di dunia.
Namun hal ini dalam rangka agar kita tidak menjadi orang-orang yang maftun, menjadi orang-orang yang terfitnah, yang hatinya kemudian tergila-gila dengan dunia.
Daftar Isi
Orang yang Maftun dengan Dunia
Orang yang maftun dengan dunia telah mengagungkan apa yang dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena dunia di mata Allah, dalam pandangan Allah, dan dalam pandangan Rasul-Nya adalah “haqirah /(حقيره)” yaitu sesuatu yang hina, yang rendah. Tentu ketika dikaitkan atau dibandingkan dengan apa yang Allah sediakan untuk kaum mukminin di akhirat kelak.
Orang-orang yang telah menumpahkan seluruh hatinya untuk mencintai dunia, artinya dia telah mencintai sesuatu yang rendah dan hina. Dan dia mencintai sesutu yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana Nabi katakan:
أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ مَا فِـيْهَا إِلَّا ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِـمٌ أَوْ مُـتَـعَلِّـمٌ
Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan dilaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allâh dan ketaatan kepada-Nya, orang berilmu, atau orang yang mempelajari ilmu. [HR. at-Tirmidzi no. 2322; Ibnu Mâjah, no. 4112]
Sesungguhnya dunia itu terlaknat, lawan daripada rahmah. Orang yang “mal’un/(مَلْعُوْنٌ)” orang yang mereka dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang yang dirahmati Allah ialah orang-orang yang masa lalunya diampunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dosa-dosa mereka.
Artinya Allah menggerakkan hatinya untuk melakukan hal-hal yang akan bisa mendatangkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Cara Mendatangkan Ampunan Allah
Cara mendatangkan ampunan Allah adalah dengan memperbanyak amal shaleh, memperbanyak beristighfar, serta bertaubat.
Apabila dia dikuatkan hatinya untuk bersabar dari musibah-musibah, maka ini semuanya merupakan bagian dari faktor-faktor yang dapat menggugurkan dosa-dosa mereka.
Orang yang dirahmati Allah, hari-harinya dan saat-saat yang sedang dilaluinya, Allah akan berikan taufik serta kecocokan dengan apa yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang dirahmati Allah, perkara yang akan datang dia akan dijaga oleh Allah dari ketergelinciran. Ini juga dampak dari sebab dia memelihara dan memuliakan serta menjaga agama Allah Ta’ala.
Orang yang “Mal’un/Terlaknat”
Orang yang “mal’un” adalah orang-orang yang waktunya habis untuk melanggar agama Allah dan melalaikan Allah, serta melalaikan kehidupan mereka.
Orang yang Maftun dengan Dunia
Orang yang maftun dengan dunia, dia bisa menjadi orang yang terbalik orientasi kehidupannya. Seharusnya orientasi kehidupan kita adalah akhirat, dan dunia menjadi wasilah untuk menggapai semua yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Akan tetapi orang yang maftun dengan dunia, justru menjadikan “ghoyah” itu adalah wasilah, dan wasilah itu adalah “ghoyah” (menjadikan tujuan sebagai wasilah/sarana, dan sarana menjadi tujuan).
Bagi seorang mukmin, dunia adalah sarana untuk menggapai kampung akhirat. Sedangkan bagi orang yang maftun dengan dunia, agama dia jadikan sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia.
Maka ada orang-orang yang kata Nabi, di antara mereka ada yang menjual agama mereka hanya untuk mendapatkan potongan-potongan kehidupan dunia.
Ulama-Ulama yang Tersesat
Ada ulama yang tersesat dan ada ulama yang berubah menjadi para pemakan harta manusia dengan cara yang bathil, atas nama agama.
Seorang ulama yang rakus terhadap harta dan jabatan, dai-dai penipu yang berubah menjadi dajjal. Yang semuanya itu di antaranya maftun dengan dunia.
Karena maftun dengan dunia pula, maka dunia berubah menjadi sangat mengerikan. Dunia menjadi kehidupan yang penuh dengan kedzaliman, yang Nabi katakan,
اتَّقوا الظُّلمَ. فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ
“Jauhilah kedzaliman karena kedzaliman adalah kegelapan di hari kiamat kelak” [HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578].
Orang yang Dzalim kepada Allah
Semakin dia banyak berbuat dzalim sampai pada puncak kedzalimannya, yaitu dzalim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia akan semakin mendapatkan kegelapan yang semakin gelap gulita di hari kiamat kelak.
Takutlah Anda kepada kebakhilan. Orang yang maftun dengan dunia biasanya diwarnai dengan hidup yang penuh kedzaliman. Kemudian juga menjadikan mereka sebagai orang yang bakhil/kikir.
Orang yang Bakhil
Ketika kekhalifahan Bani Umayyah berhasil ditumbangkan oleh Bani Abbasiyah, setiap hari algojo-algojo Abbasiyah memenggal kepala Bani Umayyah sekitar 80-an orang sehingga penuh dengan pertumpahan darah orang yang maftun dengan dunia.
Karena mereka memiliki rasa cinta yang sangat tinggi terhadap dunia, maka akan muncul kebakhilan-kebakhilan. Kemudian kebakhilan membawa mereka untuk saling bertumpah darah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حَمَلَهُمْ عَلَى أنْ سَفَكُوا دِمَاءهُمْ ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ
(Kekikiran/kebakhilan itu) mendorong mereka (orang-orang sebelum kita) untuk saling menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan (wanita-wanita) mereka.
Dampak Orang yang Maftun
Ini semuanya di antara dampak dari kehidupan orang yang maftun terhadap kehidupan dunia.
Bahkan Allah pun akan memberi pelajaran kepada umat ini dari yang tadinya mulia menjadi hina. Yang tadinya tinggi menjadi rendah.
Apabila kita senantiasa berada di dalam keimanan kita yang benar, tauhid kita yang lurus, ittiba’ (mengikuti kebenaran), kita akan senantiasa berada di jalan shiratal mustaqim.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” [QS. Ali ‘Imran:139]
Janji Allah kepada Orang yang Mukmin
Allah menjanjikan kemenangan kepada kaum mukminin. Kami (Allah) akan memberikan pertolongan kepada Rasul dan para pengikut Rasul Kami di kehidupan dunia.
Ketika di hari tegaknya para saksi yakni di hari akhirat kelak. Karena hari ini kita mendapatkan hinaan kaum muslimin, hinaan seperti yang digambarkan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, menjadi umat yang diperebutkan oleh bangsa kuffar.
Umat yang Menjadi Rebutan Bangsa Kuffar
Sebagaimana dikatakan, akan datang waktunya di mana kalian wahai kaum muslimin akan dijadikan ajang rebutan bangsa-bangsa kuffar.
Sehingga para sahabat yang tidak mengenal keislaman mereka, kecuali kemuliaan kewibawaan yang bahkan ditakuti oleh bangsa-bangsa kuffar, menanyakan “Ya Rasul, apakah jumlah kita waktu itu sedikit?”,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا»، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: «بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ»، فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: «حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Hampir tiba waktu, kaum-kaum itu akan saling menyeru di atas kalian sebagaimana orang-orang yang makan saling menyeru ke hidangan mereka” Ada yang bertanya, ‘Apakah karena jumlah kami sedikit ketika itu?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bahkan jumlah kalian banyak, akan tetapi kalian ibarat buih air bah. Allâh Azza wa Jalla sungguh telah mencabut rasa takut dari dada-dada musuh kalian terhadap kalian dan Allâh Azza wa Jalla akan mencampakkan al-wahn dalam hati-hati kalian.” Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh! Apakah al-wahn itu?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Cinta dunia dan benci kematian.” [HR. Abu Daud dan dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah]
Jika bicara jumlah, sebenarnya jumlah umat muslim waktu itu sangat banyak. Tapi apabila bicara kualitas, umat Islam pada masa itu bagaikan buih-buih di sebuah aliran air.
Buih bagaimanapun besarnya kelihatan tidak ada bobotnya. Inilah yang membahayakan.
Umat yang Tidak Berkualitas Keimanannya kepada Allah Ta’ala
Pengibaratan buih itu bagaikan umat yang tidak berkualitas. Sebanyak apapun tidak akan memberikan faedah yang banyak. Tidak akan membuat manusia ketakutan dan gentar karena umat ini tidak berkualitas.
Kualitas dari umat ini ada pada akidah dan ittiba’-nya sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika memberikan pelajaran kepada kaum muslimin lihatlah bagaimana Allah memberikan pelajaran di Perang Uhud yang sampai di antara kaum muslimin.
Ketika melihat insiden Uhud yang memakan korban sampai 70-an syuhada Uhud, mereka bertanya,
“Kenapa kita bisa mengalami seperti ini?”
Kisah Umat yang TIdak Berkualitas di Perang Uhud dan Awal dari Kehinaan
Awalnya Allah memberikan kemenangan gemilang kepada kaum muslimin, sehingga orang-orang kuffar Quraisy telah menuju perjalanan pulang dengan membawa kekecewaan.
Akan tetapi begitu orang-orang kafir melihat di Bukit Rumat kaum muslimin mulai kosong (tidak ada yang berjaga), kaum muslimin telah mengabaikan dan melupakan wasiat nabi. Bahkan ketika mereka telah diingatkan mereka tidak peduli.
Khalid bin Walid (saat belum masuk Islam) melihat Bukit Rumat itu kosong tinggal segelintir dari 50-an orang tinggal 10-an orang. Maka Khalid bin Walid balik lagi menuju ke Bukit Uhud, kemudian menghajar yang di atas dan yang di bawah, sehingga terjadi insiden Uhud.
“Kenapa bisa begini?” kata kaum muslimin.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
اَوَلَمَّآ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ اَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَاۙ قُلْتُمْ اَنّٰى هٰذَا ۗ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” [QS. Ali ‘Imran:165]
Dapat dikatakan ini semua terjadi akibat kecerobohan kalian sendiri (kaum muslimin/pemanah saat di Perang Uhud).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنْ رَأَيْتُمُوْنَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلاَ تَبْرَحُوْا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ وَإِنْ رَأَيْتُمُوْنَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلاَ تَبْرَحُوْا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْMeskipun kalian melihat kami disambar burung, janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus utusan kepada kalian. Meskipun kalian melihat kami telah berhasil mengalahkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus utusan kepada kalian [HR. al- Bukhâri]
Awal dari Kehinaan di Perang Uhud
Mereka melupakan wasiat Nabi,
“Jangan turun (dari Jabal Rumat)!”
“Walaupun kalian melihat kami (kaum muslimin yang ada di medan pertempuran) ini menang ataupun kalah sekalipun.”
“Jangan turun!”
“Walaupun kalian melihat kami dicabik-cabik oleh burung sekalipun.”
Wasiat yang jelas, tapi saat mereka diingatkan mereka tidak peduli. Dan Allah memberikan pelajaran, yakni karena telah melanggar perintah Nabi, maka inilah awal daripada kehinaan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Daud]
Dijadikan kehinaan dan kerendahan itu menimpa kepada mereka orang yang menyisipkan perkara kepada Allah. Jika hari-hari ini kita mendapatkan muslimin seperti yang digambarkan Nabi, menjadi ajang rebutan bangsa-bangsa kuffar.
Di depan mata kaum muslimin akan dibantai oleh orang-orang kuffar dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa berteriak lantang yang bisa menakutkan bangsa kuffar. Karena kita dhoif (lemah), sangat dhoif, kita sangat lemah walaupun kita milyaran jumlahnya.
Kenapa Masih Ada yang Maftun dengan Dunia?
Tapi, kenapa di antara kalian masih ada yang menginginkan dunia dan kemudian maftun dengan dunia? Sehingga mengabaikan apa yang menjadi wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana kualitas umat ini ada pada akidah dan tauhidnya.
Kualitas Umat Islam Ada pada Akidah dan Tauhid, Seperti Umat di Perang Badar
Di Perang Badar jumlah kaum muslimin sepertiga dari jumlah musuh. Musuh jumlahnya ada ribuan, sedangkan muslimin hanya 300-an. Itupun muslimin bukan orang-orang dokdeng (sakti mandraguna) yang keluar di perang Badar.
Kaum muslimin juga tidak mengeluarkan kekuatan yang totalitas. Karena memang mereka keluar ke Lembah Badar untuk menghadang pasukan kafilah dagang Abu Sufyan.
Sehingga ibaratnya orang yang suka dan rela pergi ke Lembah Badar. Akan tetapi Quraisy datang dengan segala persiapannya, mengerahkan seluruh kekuatan dan jumlah yang cukup besar.
Namun, kualitas akidah umat islam pada saat itu sedang di puncak-puncaknya kedekatan dengan Allah Ta’ala. Dan totalitas bersandarnya hanya kepada Allah Ta’ala. Maka Allah berikan kemenangan di Lembah Badar.
Kualitas Umat Islam di Perang Hunain
Sebaliknya di Lembah Hunain, dibandingkan dengan jumlah, muslimin 3 kali lipat dibandingkan dengan musuh.
Jumlah yang sangat besar, sampai di antara mereka tertipu dengan jumlah dan mengatakan kita tidak akan dikalahkan dengan jumlah yang sebanyak ini.
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
Allâh telah menolong kalian dalam banyak kesempatan. Dan ingatlah ketika Perang Hunain, saat kalian merasa takjub dengan banyaknya jumlah kalian. Akan tetapi itu tidak berguna sedikitpun bagi kalian, sehingga bumi terasa sempit bagi kalian dan kalian lari tunggang-langgang. [QS. At-Taubah:25]
Pelajaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Orang yang Maftun dengan Dunia
Allah akan memberikan pelajaran bahwa yang memegang urusan adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka telah salah dalam bertawakal.
Mereka bersandar terhadap sebab, bukan bersandar kepada Pencipta sebab. Sebab itu memang diperintahkan, akan tetapi kita tidak boleh bersandar kepada sebab, dan ini merupakan pelajaran tauhid.
Umat Muslimin yang Lupa terhadap Allah dan Agama Allah
Kaum muslimin seakan lupa dengan Allah Ta’ala dan Allah memberikan pelajaran kepada mereka. Bagaimana mereka dibuat kocar-kacir oleh pasukan Hawazin, di Lembah Hunain. Walaupun pada akhirnya kaum muslimin Allah berikan kemenangan.
Ini di antaranya adalah orang-orang yang maftun dengan dunia. Hari ini muslimin hina, rendah, di titik nadir kerendahan, bukan karena sedang kuat-kuatnya memegang agama Allah Ta’ala. Akan tetapi kita lihat pemandangan muslimin bagaimana perlakuan mereka terhadap agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tipu Daya Syaitan kepada Adam
Lihat pula bagaimana Adam telah tertipu oleh syaitan, disebabkan juga maftun terhadap tawaran syaitan yang penuh dengan syubhat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَوَسْوَسَ اِلَيْهِ الشَّيْطٰنُ قَالَ يٰٓاٰدَمُ هَلْ اَدُلُّكَ عَلٰى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلٰى
Kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya dengan berkata, “Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” [QS. Taha:120]
Syaitan memasukkan was-was ke hati Adam. “Di mana engkau akan mendapatkan kekal dengan kenikmatan dan kerajaan yang tidak pernah punah?”.
Ini semuanya gambaran tentang kenikmatan yang diiming-imingkan oleh iblis kepada Adam. Adam pun tertipu oleh iblis, walaupun Adam kemudian bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang Maftun Tidak Pernah Merasa Bahagia
Orang yang maftun dengan dunia tidak akan pernah bahagia. Kita adalah orang yang mencari kebahagiaan. Semua dari kita adalah orang yang sedang mengejar kebahagiaan dan kebahagiaan tidak akan pernah bisa kita raih dengan dunia.
“Harta yang banyak, pangkat yang tinggi, jabatan yang hebat, nama yang tenar, semua tidak akan bisa mengantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah” [HR. Bukhari].
Mereka tidak akan pernah merasakan kebahagiaan yang hakiki. Mereka akan mendapatkan kebahagiaan itu bagaikan fatamorgana.
Apa itu fatamorgana?
Fatamorgana ialah tipuan dari kejauhan seperti air yang melimpah. Sehingga orang yang merasakan kehausan, kata Allah mereka sangka air itu yang menjanjikan. Maka ia kejar fatamorgana tersebut namun ketika sampai di tempatnya itu ternyata tidak ada.
Orang yang Berkhayal Bahwa Harta dan Jabatan Akan Membuatnya Bahagia
Manusia yang berangan-angan menjadi orang yang hidup dengan kebahagiaan, sebagian dari mereka akan tertipu.
Dia sangka kebahagiaan bisa dicari dengan harta yang banyak, pangkat yang tinggi, nama yang tenar, tapi semua yang telah mereka dapatkan ternyata sampai di tempatnya tidak akan ada apa-apa.
Berapa banyak orang yang kaya raya, bisa membangun istana rumahnya, menyediakan perabotan rumah tangga yang komplit dan rumah yang mewah. Namun istana yang megah, akan berubah menjadi seperti penjara yang sempit, yang tidak memberikan kebahagiaan.
Istana yang penuh dengan penyejuk, ada kolam, ada taman, ada segala macamnya, akan berubah menjadi seperti neraka yang menyala-nyala yang tidak membuat mereka betah di rumahnya.
Orang yang Berkhayal Bahwa Terkenal Akan Membuatnya Bahagia
Berapa banyak orang yang mereka sangka menjadi bahagia, ketika mereka menjadi orang yang tenar, dikenal di mana-mana, dimuat di berbagai media. Tapi berapa banyak yang mereka, artis bunuh diri saat mereka berada di puncak karirnya.
Mereka memiliki fans yang banyak, namun kehidupan mereka telah menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan itu hanya akan diraih ketika hati mereka mengenal Allah dan mengisinya dengan iman kepada Allah serta kerinduan kepada Allah Ta’ala.
Orang yang Mengenal Allah dan Beriman kepada Allah
Seorang ulama mengatakan, “Yang dikatakan orang yang benar-benar miskin dari kalangan ahli dunia bukan orang yang tidak punya harta, tidak punya jabatan, tidak punya pangkat/kedudukan, dan bukan orang yang terkenal”. Bukan semuanya itu.
Tapi orang yang benar-benar miskin adalah orang-orang yang sampai matinya mengejar-ngejar kelezatan hidup, tapi ternyata sampai matinya tidak pernah dapat.
Orang yang Menjadikan Dunia sebagai Surga Dunia
Yakni hati yang mengenal Allah, hati yang mencintai Allah, hati yang bisa merasa nyaman, ketika bersanding dengan Allah Ta’ala.
Orang-orang yang seperti ini adalah orang yang mengenal Allah, orang yang mencintai Allah, orang yang merindu Allah. Dia akan bisa menjadikan dunianya menjadi surga dunia.
Di dunia ada surga, yaitu “Barangsiapa yang dia tidak merasakan surga dunia, tidak memasuki surga dunia, dia tidak akan masuk surga di akhirat kelak”.
Baca juga artikel menarik lainnya: Cara Mengimani Sifat Datangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
Gambaran Nabi terhadap Orang yang Maftun dengan Dunia
Orang yang maftun dengan dunia suaasana hati mereka digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut.
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَة
Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.” [Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Mâjah (no. 4105); Imam Ibnu Hibbân (no. 72–Mawâriduzh Zham’ân); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu]
“Ya Allah, jangan Kau jadikan dunia menjadi urusan terbesarku dan jangan sampai ilmuku hanya mentok dalam urusan dunia.”
Orang yang mereka kata Nabi “مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ”, barangsiapa yang dunia menjadi cita-cita utama dia:
1. وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
Allah akan jadikan kefakiran itu ada di kedua kelopak matanya. Yang tampak di depan kedua matanya, fakir dan fakir dan fakir dan fakir dan fakir.
Sehingga dia tidak pernah merasakan kaya, berapapun kekayaan yang telah mereka tumpuk dan mereka miliki. Yang ada hanyalah kurang dan belum didapati.
Yang kelihatan belum dapat akan ia kejar terus, hingga sampai ujung ia tidak akan pernah mendapatkannya, tidak pernah terpuaskan dunianya, sampai ia masuk ke liang kubur.
2. فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ
Allah buat urusannya berantakan, dia rusak-rusak hidupnya. Hubungannya dengan keluarga, tetangga, masyarakat, rusak semuanya. Bahkan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun rusak dan kacau balau kehidupan mereka.
Di antara mereka yang rusak kehidupannya ini, ada yang bahkan dunia membuat dia sudah betul-betul lupa dengan akhirat sama sekali. Sehingga ia sangka kehidupan itu hanya di dunia ini saja.
Ia menjadi lupa tentang kehidupan akhirat, sehingga dia pun menjadikan kehidupan dunia sebagai surga kehidupannya. Dia tumpahkan segala kenikmatannya.
Orang yang Sibuk dengan Dunia
Ada orang yang kesibukannya dengan dunia, kegilaannya dengan dunia, membuat ia memang masih memiliki keimanan. Akan tetapi ia berantakan dalam melakukan kewajiban-kewajibannya. Sholatnya berantakan, kemudian pemenuhan kewajibannya kepada Allah berantakan.
Ada orang yang mereka itu kesibukannya dengan dunia, memang masih menjaga kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan. Akan tetapi pikirannya sangat terganggu sehingga apa yang ia lakukan secara fisik, hati, atau ruh mereka kosong.
“Berapa banyak di antara kita, yang sholat-sholatnya, kita tidak ada ruh sholatnya.”
“Yang baca Al Qur’an kita tidak ada ruh baca Al Qur’an-nya.”
“Yang dzikir kita tidak ada ruh dzikirnya.”
“Sholat hanya ada gerakan fisik.”
“Baca Al Qur’an hanya ucapan lisan.”
“Kemudian dzikir kita hanya gerakan bibir, akan tetapi hatinya lalai”
Sehingga tidak akan berdampak apa yang ia lakukan, itu orang yang masih menunaikan kewajiban. Maka orang yang maftun dengan dunia ada bertingkat-tingkat daya rusaknya terhadap agama ini. Ini mereka yang maftun dengan dunia, Allah jadikan berantakan urusan mereka.
Sehingga yang ketika kata Nabi, “Dunia pun tidak datang kepada dia, kecuali yang hanya sekedar ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Sudah hancur-hancuran dia lakukan segala-galanya bahkan tidak mau tahu halal atau haram. Namun dunia pun tidak dia dapatkan, kecuali hanya kadar yang ditakdirkan oleh Allah untuk dia.
Di mata seorang mukmin, dunia itu yang kedua. Dia jadikan sebagai lahan untuk bercocok tanam atau pasar untuk dia berdagang.
Dia di dunia ini akan menjadi pedagang-pedagang akhirat dan itulah didikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Modal kita adalah waktu yang kita miliki. Sehingga detik-detik ini bagi seorang mukmin sangat berharga. Bayangkan kehilangan waktu itu seperti Anda kehilangan aset properti.
Tahu-tahu rumah Anda yang mewah, yang harganya milyaran, ada yang satu dua milyar, ada puluhan milyar, ada sampai menyentuh ratusan milyar hilang begitu saja.
Dua Kalimat yang Ringan di Lisan, Namun Berat di Timbangan, dan Disukai Ar Rahman
“Membaca Al-ikhlas sepuluh kali, berapa waktunya?”
“Berapa detik?
“Kalikan 10!”
“Kira-kira akan memakan waktu berapa menit?
“3 menit”.
Sekarang lupakan sepuluh menit. Sepuluh menit berlalu begitu saja, artinya Anda telah kehilangan tiga rumah besar di Jannah. Yang harganya bukan lagi milyaran tapi bisa triliunan lebih.
Akan tetapi mana ada orang yang ketika lewat waktunya sepuluh menit ia menangis? Tidak ada! Hampir tidak ada! Karena ini tidak mengetahui harga waktu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat di timbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung).” [HR. Bukhari no. 6682 dan Muslim no. 2694].
Jika kalian mengucapkan kalimat “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim”, Anda ditanamkan satu buah pohon kurma di surga. Ketika Anda berhenti di lampu lalu lintas, Anda bisa mengucapkan kalimat “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim.”
“Bisa berapa kali kira-kira?”
“Bisa puluhan kali, bahkan bisa ratusan kali”.
Sehingga jika kelak Anda melamun di waktu berhenti di lampu lalu lintas, maka hilang waktu Anda itu. Artinya telah kehilangan puluhan pohon kurma.
Waktu ini adalah modal. Maka dunia tercela bukan karena waktunya yang berjalan, bahkan waktu merupakan modal untuk kita berdagang dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi dunia tercela karena perbuatan manusia.
Berdagang dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dengan modal waktu yang kita miliki, Allah mengajak kita bertransaksi untuk berdagang.
Kata Nabi: “Setiap manusia itu pedagang yang ia keluar pagi-pagi untuk menjajakan barang dagangannya”.
Ada mereka yang menjual dirinya, lalu dia beruntung besar bisa membebaskan diri dari segala kesulitan, kesengsaraan. Ada yang mereka menjual dirinya dan mereka bangkrut total.
“Maka kepada siapa ia jual sehingga untung besar?” Hanya kepada Allah Ta’ala.
“Kepada siapa ia jual sehingga ia bangkrut” Yaitu kepada syaitan.
Menjadikan dunianya sebagai modal untuk ia berdagang dengan Allah untuk mendapatkan kampung akhirat. Barangsiapa berdagang dengan Allah, ia telah berdagang dengan keuntungan yang tidak akan pernah ada kerugiannya. Perdagangan yang tidak pernah ada kerugiannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ ﴿٢٩﴾ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [QS. Fâthir:29-30]
Mereka itulah orang-orang yang telah mengharapkan perdagangan yang tidak akan pernah ada kerugiannya.
Jualan kita yaitu amal yang kita lakukan. Amal sholeh yang telah kita lakukan adalah jualan kita kepada Allah. Allah adalah pembeli yang akan memberikan keuntungan kepada Anda 10 kali lipat hingga 700 kali lipat, sampai lipatan yang tak terhingga.
Ini keuntungan yang Allah tawarkan kepada para pedagang. Maksudnya ialah yang berdagang dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Para Pedagang Akhirat
Abu Bakar Ash Shiddiq
Satu di antara pedagang akhirat yang telah menjadikan hidupnya, hartanya, totalitas untuk mendukung dakwah Nabi.
Ketika Umar, dia sudah memperkirakan dirinya, hari ini akan mengalahkan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan membawa separuh hartanya di hadapan Nabi, kata Nabi: “Ya, Umar! Berapa harta yang Anda tinggalkan untuk keluarga Anda?”
Ibnu Katsir Rahimahullah menyebutkan dari jalan ‘Amir asy-Sya’bi Rahimahullah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dan Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika mereka berdua berlomba-lomba untuk bersedekah.
Umar Radhiyallahu ‘anhu memberikan setengah hartanya. Tiba-tiba Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memberikan seluruh kekayaannya dengan mengatakan, “Aku tinggalkan untuk mereka (keluarganya) Allâh dan Rasul-Nya.”
Maka Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
لاَ أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا
Selamanya, aku tidak akan dapat mengalahkannya dalam hal apapun [HR Tirmidzi, no. 3675, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah. Lihat juga Tafsîr Ibnu Katsîr 1/702]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي مَالِهِ وَصُحْبَتِهِ أَبُوبَكْر
Sungguh orang yang paling banyak berkorban untukku dalam harta maupun persahabatan adalah Abu Bakar [HR. al-Bukhâri, no. 3654 dan Muslim, no. 2382]
Abu Bakar Ash Shiddiq telah menjadikan hartanya untuk menopang dakwah Nabi. Bahkan Abu Bakar Ash Shiddiq wafat dengan keadaan tidak meninggalkan apa-apa.
Utsman bin ‘Affan
Satu di antara pedagang akhirat yang menjadikan hartanya untuk menopang dakwah fi sabilillah membeli Sumur Rumatun senilai 20 ribu dinar.
1 dinar sekitar 2 juta. 4 sekian gram emas ada 2 juta. 2 juta dikali 20 ribu. Jadi 40 milyar Utsman membeli sumur dari Yahudi untuk kaum muslimin yakni 40 milyar.
Ketika Nabi tawarkan barangsiapa yang dia membeli sumur ini (Rumatun), maka ia akan di Jannah. Utsman beli dengan 20 ribu dinar setara kira-kira 40 milyar.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari secara mu’allaq bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ، فَيَكُونُ دَلْوُهُ فِيهَا كَدِلاَءِ المُسْلِمِينَ
“Barangsiapa yang membeli sumur “rumatun”, maka bagian dari air yang ia timba darinya itu seperti bagian air yang ditimba kaum muslimin.” Maka ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu pun membelinya.
Dalam hadits Shahih Bukhari rahimahullah pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَفَرَ رُومَةَ فَلَهُ الجَنَّةُ
Barangsiapa yang menggali sumur “rumatun”, maka baginya surga. Lalu ‘Utsman pun menggalinya.
Disebutkan dalam salah satu riwayat Basyir bin Basyir Al-Aslami, bahwa Utsman bin Affan Radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslimin.
Utsman pernah datang dengan membawa barang dagangan di atas seribu unta. Satu untanya kira-kira membawa setengah ton gandum. Dikali seribu kira-kira ada berapa ton? 500 ton?
Semuanya ia gratiskan untuk kaum muslimin. Ia jual kepada Allah Ta’ala, untuk diberikan kepada kaum muslimin.
Shuhaib bin Sinan Ar Rumi
Shuhaib bin Sinan Ar Rumi ketika hijrah ke madinah, di tengah jalan ia dicegat oleh Quraisy,
“Ya, Shuhaib?”
“Engkau masuk ke sini dengan keadaan miskin, lalu sekarang hartamu akan kau bawa keluar? Kami tidak ridho!”
Kata Shuhaib, “Wahai, Quraisy! Kalian tahu, kami ini pemanah. Artinya siapkan diri Anda untuk menghadapi lepasnya anak-anak panahku, bisa pulang tinggal nama”.
“Tapi kalau kalian mau, seluruh hartaku akan aku serahkan ke kalian”.
“Bahkan akan kutunjukkan di mana letak simapanan hartaku, ambil saja”.
Dalam rangka ia melenggang lepas bebas, dibiarkan bebas melenggang begitu saja ke Madinah. Padahal Mekkah dan Madinah tidak kurang dari 450-an kilo. Yang kalau malam bisa sangat dingin dan kalau siang bisa sangat terik matahari.
Tapi itu yang lebih dinikmati oleh Shuhaib Ar Rumi. Ia jual semuanya kepada Allah hanya untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga sampai di Madinah ia disambut oleh Nabi dengan hangat.
Kata Nabi, “Wahai, Abu Yahya! Anda telah beruntung dengan perdagangan Anda. Perdagangan Anda telah beruntung wahai Abu Yahya”.
Berdagang apa Abu Yahya? Dia berdagang dengan Allah Ta’ala. Ia lepaskan seluruh aset hartanya demi untuk memberikan apa yang diinginkan oleh Allah, yakni hijrah ke Madinah. Dialah orang yang telah menunjukkan kejujuran imannya.
Ibil Mubarok
Demikian juga sahabat lainnya Ibil Mubarok, seorang ulama yang mujahid, ulama ahlul hadits, mujahid sekaligus, dia juga saudagar kaya raya.
Hartanya ia gunakan untuk mengkafil para pencari ilmu, mengkafil para ulama, menutup kebutuhan para fakir miskin.
Bahkan ia pernah menggajikan orang sekampungnya dengan biaya harta Ibil Mubarok. Dia bersama limpahan hartanya tetap menjadi seorang yang zuhud tentang dunia.
Muhammad bin Shirin
Satu di antara contoh pedagang akhirat. Dia di pasar, tetapi ketika orang melihat Muhammad bin Shirin, seakan langsung diingatkan tentang Allah Ta’ala. Padahal itu ketika berada di pasar, bukan di masjid.
Jika orang duduk di masjid, kemudian mengingatkan orang tentang Allah, itu wajar. Ini di pasar. Alangkah luar biasanya kepribadian Muhammad bin Shirin.
Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’ig
Dia seorang pandai besi. Ketika ia telah mendengar suara adzan dan ia sedang mengangkat tempaan untuk memukul besinya, ia tidak kuat lagi mengangkat untuk menempanya. Ia letakkan semuanya, dan ia cepat memenuhi panggilan Allah.
Imam Ibrahim bin Maimun ash-Sha’ig (wafat thn 131 H) dari generasi Atba’ut tabi’in. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Ketika beliau (sedang bekerja) mengangkat palu (untuk menempa besi), lalu beliau mendengar adzan shalat (berkumandang), maka beliau tidak akan memukulkan palu tersebut (karena bersegera melaksanakan shalat berjama’ah)” [Kitab “Tahdziibut tahdziib” (1/150)].
Gambaran Orang yang Menjadikan Akhirat sebagai Tujuan
Itu semuanya di atas ialah gambaran orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuan. Jadi dalam pandangan seorang mukmin dunia ialah rendah dan hina harganya.
Ketika ia bandingkan dengan Jannah yang disediakan oleh Allah Ta’ala. Tapi ia jadikan dunia ini adalah yakni lahan ladang untuk menggapai kemuliaan kampung akhirat yang segalanya lebih baik, yang segalanya lebih kekal, kehidupan yang digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang Ketika kalau menyeru Ahlul Jannah,
“Anda sekarang sehat, dan tidak pernah sakit lagi!”
“Anda sekarang muda dan tidak pernah tua lagi!”
“Anda sekarang hidup dan tidak pernah mati lagi!”
“Anda sekarang nikmat tidak pernah lagi sengsara!”
Untuk itu mereka berdagang di dunia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Kesimpulan
Manusia berkaitan dengan kampung akhirat, ada yang mengingkari dan ada pula yang mengimani. Yang mengingkari ialah orang-orang kafir dan sejenisnya. Yang mengimani ada beberapa tingkatan berkaitan dengan iman mereka kepada kampung akhirat.
Orang-orang mereka yang maftun terhadap dunia, yaitu:
Dia telah mencintai apa yang direndahkan Allah Ta’ala, mencintai yang dilanggar oleh Allah, dia telah menjadikan “dunia sebagai ghoyah atau menjadikan wasilah jadi ghoyah” atau “menjadikan ghoyah menjadi wasilah.”
Kemudian di antara orang yang maftun dengan dunia yaitu menjadikan umat ini pun menjadi rendah dan hina yang disebabkan karena kecintaannya mereka terhadap dunia. Kasusnya seperti di Perang Uhud dan Perang Hunain.
Yang diterangkan bahwasanya kecintaan dunia tidak akan pernah ia menerima kebahagiaan dunia yang hakiki. Karena kebahagiaan yang hakiki itu diperoleh dari Allah, yang mereka menghiasinya dengan kecintaannya kepada Allah, dengan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya mereka yang akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Demikian artikel ini ditulis dari hasil review ceramah Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A. di Youtube dengan judul “Dunia di Mata Seorang Mukmin” yang disiarkan live pada 7 Desember 2019. Sekiranya mohon dimaafkan apabila ada kesalahan dalam penulisan atau maksud lainnya, karena itu semata-mata hanya kekhilafan penulis.
Semoga bermanfaat. Sekian dan terima kasih.