Belakangan ini beredar potongan video ceramah yang menceritakan kisah aneh tentang Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, seorang wali besar yang dikenal di dunia Islam. Dalam video tersebut dikisahkan bahwa beliau pernah menghidupkan orang mati di pemakaman, berbicara dengannya, hingga bertanya siapa kepadanya — layaknya kisah fiksi yang berlebihan.
Bagi sebagian orang, cerita semacam ini mungkin terdengar menakjubkan. Namun bagi seorang muslim yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah, dan pemahaman para Salaf, kisah seperti ini justru tidak pantas disandarkan kepada seorang wali Allah, apalagi kepada ulama besar sekelas Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Karena justru dengan cerita seperti inilah kemurnian tauhid bisa ternodai, dan kemuliaan beliau malah direndahkan.
Daftar Isi
Mengenal Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani (w. 561 H) adalah ulama besar asal Jilan (Iran sekarang) yang kemudian menetap di Baghdad. Beliau dikenal luas sebagai ahli fikih mazhab Hanbali dan pendiri Tarekat Qadiriyah.
Beliau bukan hanya seorang sufi, tetapi juga pengajar aqidah dan tauhid yang lurus. Dalam kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, beliau menulis:
“Barangsiapa memohon kepada selain Allah dalam suatu kebutuhan, maka sungguh ia telah berpaling dari Tuhan-nya.” [Al-Ghunyah, juz 1, hlm. 139]
Ucapan ini cukup menunjukkan bahwa beliau sangat menjaga kemurnian ibadah kepada Allah, dan tidak mungkin mengklaim atau membenarkan kisah yang menisbatkan kekuasaan ilahi kepada dirinya sendiri.
Menghidupkan Orang Mati: Hanya dengan Izin Allah
Dalam Islam, menghidupkan orang mati adalah perbuatan luar biasa yang hanya bisa terjadi dengan izin Allah. Tidak seorang pun makhluk — baik nabi, malaikat, atau wali — mampu melakukannya kecuali jika Allah sendiri menghendaki.
Allah berfirman,
وَهُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” [QS. Yunus: 56]اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا
“Allah-lah yang memegang jiwa (orang) ketika matinya.” [QS. Az-Zumar: 42]
Bahkan Nabi Isa ‘alaihissalam, yang benar-benar pernah menghidupkan orang mati, melakukannya bi-idznillah (dengan izin Allah) — bukan karena kekuatan dirinya sendiri.
Allah berfirman,
وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِي
“Dan (ingatlah) ketika engkau mengeluarkan orang mati (menjadi hidup) dengan izin-Ku.” [QS. Al-Ma’idah: 110]
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Allah menegaskan frasa bi-idznī untuk menolak keyakinan bahwa Nabi Isa memiliki kekuatan gaib sendiri. Maka apalagi seorang wali, tentu tidak memiliki kemampuan seperti itu tanpa izin dan kehendak Allah.
Karamah Itu Ada, Tapi Tidak Melebihi Batas Syariat
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini adanya karamah wali, yaitu kejadian luar biasa yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang beriman. Namun, para ulama Salaf menegaskan bahwa karamah tidak akan pernah bertentangan dengan syariat atau menyalahi tauhid.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
“Jika engkau melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara, jangan segera tertipu sampai engkau lihat apakah dia istiqamah di atas sunnah atau tidak.” [Al-Furqan baina Auliya’ ar-Rahman wa Auliya’ asy-Syaitan, Ibn Taimiyyah]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menulis:
“Karamah wali adalah benar, tetapi tidak seorang pun dari mereka memiliki kekuasaan menyalahi syariat. Jika suatu hal luar biasa muncul bersamaan dengan pelanggaran terhadap wahyu, maka itu bukan karamah, melainkan istidraj.” [Majmu’ Fatawa, 11/313]
Artinya, kisah bahwa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menghidupkan orang mati hingga berbicara dengannya bertentangan dengan akidah dan dalil, serta tidak pernah diriwayatkan oleh murid-murid beliau yang terpercaya.
Kisah itu lebih tepat disebut rekayasa atau dongeng yang kemudian beredar di kalangan orang awam tanpa dasar ilmu.
[Baca Juga: Akhlak Kepada Sesama Manusia]
Menghindari Sikap Ghuluw (Berlebihan)
Para ulama Salaf sangat tegas dalam melarang sikap ghuluw — yaitu berlebihan dalam memuliakan seseorang hingga menisbatkan kepadanya hal-hal yang hanya milik Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” [HR. Bukhari, no. 3445]
Kalimat ini berlaku bagi seluruh umat Islam dalam menghormati para ulama dan wali. Jika terhadap Nabi saja kita dilarang berlebihan, maka tentu lebih tidak pantas untuk menisbatkan kemampuan ilahi kepada seorang wali.
Menghormati Wali dengan Adab Salaf
Menghormati wali Allah bukan dengan mengarang kisah ajaib, melainkan dengan meneladani keimanan, ilmu, dan ketakwaannya.
Allah berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan bertakwa.” [QS. Yunus: 62–63]
Maka tanda seorang wali bukanlah karena ia bisa melakukan hal ajaib, melainkan karena iman dan ketakwaannya kepada Allah.
Penutup
Menisbatkan kisah “menghidupkan orang mati” kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah fitnah yang berbahaya bagi akidah umat. Kisah semacam itu tidak memiliki sanad, tidak disebut dalam kitab beliau, dan tidak sesuai dengan prinsip tauhid yang beliau ajarkan.
Mari kita hormati beliau sebagaimana para Salaf menghormati ulama — tanpa berlebih-lebihan, tanpa menambah-nambahkan cerita, dan tanpa mengangkat manusia ke derajat yang hanya milik Allah.
“Cinta sejati kepada wali Allah bukan dengan mengkultuskan, tapi dengan meniti jalan mereka menuju Allah.”
⸻
Hijrahdulu.com
Menjernihkan Tauhid, Meluruskan Kisah, dan Mengajak Kembali ke Jalan Sunnah.





