Ajari Anak Sejak Dini – Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: Apakah anak-anak kita sudah benar-benar kita jaga?
Bukan hanya soal makan, pakaian, atau sekolah terbaik—tapi penjagaan yang jauh lebih besar: penjagaan dari api neraka.
Inilah pertanyaan yang sering terabaikan. Kita sibuk memastikan keluarga sehat dan bahagia di dunia, namun kadang lupa akan tanggung jawab terbesar di hadapan Allah kelak. Maka Allah mengingatkan dengan tegas dalam Al-Qur’an, bahwa tugas orang tua bukan sekadar menjaga diri, tetapi juga menyelamatkan keluarga dari azab.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dari ayat ini, para ulama menjelaskan bahwa orang tua punya tanggung jawab besar: mendidik, mengajarkan, dan menanamkan adab kepada anak-anaknya. Berikut adalah sembilan hal penting yang harus diajarkan sejak dini.
Daftar Isi
1. Didikan Sejak Usia Dini

Jika kita telusuri tafsir para ulama terkait ayat di atas, kita akan bertemu dengan perkataan Ali radhiyallahu ‘anhu tentang ayat ini:
«قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا» يقول: «أَدِّبُوهُمْ وَعَلِّمُوهُمْ»
“Didiklah mereka dan ajarilah mereka.”
Pendidikan bukan menunggu anak besar. Bahkan usia 2 tahun pun sudah bisa diajari hal-hal sederhana. Ada tiga fase pengelompokan usia:
- 0–7 tahun: temani mereka dengan bermain. Misalnya, ikut menyusun balok atau bermain bola kecil bersama.
- 8–14 tahun: ajarkan adab. Misalnya, “Nak, kalau masuk kamar orang tua, ketuk dulu ya.” Atau melatih tersenyum 10 detik saat menyapa orang lain.
- 15–21 tahun: jadilah sahabat mereka. Dengarkan curhatnya, ajak diskusi, dan hargai pendapatnya.
Pengelompokan ini tentu bukan batasan, tapi perlu kita perhatikan agar bisa lebih fokus pada hal yang semestinya dilakukan di rentang usia tertentu.
2. Menjadi Teladan dalam Adab dan Kelembutan

Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Ada pepatah ulama: faqidusy-syai’ laa yu’thii — orang yang tidak punya, tidak bisa memberi. Jika orang tua tidak mencontohkan, anak sulit diarahkan.
Contoh sederhana: ingin anak rajin gosok gigi malam? Ayah dan bunda lakukan bersama mereka. Ingin anak terbiasa shalat berjamaah? Ajak mereka shalat bersama. Dengan cara ini, perintah berubah menjadi kebiasaan yang indah.
Keindahan itupun akan semakin dirasakan anak jika disampaikan dengan penuh kelembutan.
Allah berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
“Maka berkat rahmat dari Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh darimu.” (QS. Ali Imran: 159)
Kelembutanlah yang membuat anak mau belajar. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ»
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya.” (HR. Muslim)
3. Menanamkan Adab Sehari-hari

Adab adalah kunci utama dalam kehidupan. Ajarkan anak dengan cara sederhana dan konsisten:
- Adab salam: ucapkan salam setiap masuk rumah, biasakan anak menjawab.
- Adab senyum: latih anak tersenyum kepada orang lain agar terbiasa ramah. Misal, kita ajarkan: minimal 10 detik tahan senyum yaa nak 🙂 .
- Adab makan: makan dengan tangan kanan, membaca doa, tidak berlebihan.
- Adab tidur: doa sebelum tidur, memiringkan tubuh ke kanan, dan gosok gigi bersama.
- Adab di masjid: jangan menjadikannya seperti lapangan bola, tapi ajarkan ketenangan dan penghormatan.
Ingat, adab tidak bisa diajarkan sekaligus. Perlu waktu, pengulangan, dan keteladanan.
4. Mengajarkan dengan Cara yang Menyentuh Hati

Ada kisah luar biasa: seorang pemuda datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Izinkan aku berzina.” Orang-orang marah, tapi Nabi ﷺ menanggapinya dengan bijak.
Beliau bertanya: “Apakah engkau rela ibumu dizinai?” Pemuda itu menjawab: “Tidak.” Nabi melanjutkan: “Apakah engkau rela anakmu, saudaramu, bibimu dizinai?” Pemuda itu tetap menjawab: “Tidak.”
Lalu Nabi ﷺ meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa:
«اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ، وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ»
“Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikan hatinya, dan jagalah kemaluannya.” (HR. Ahmad)
Nasehat yang tidak langsung lebih mengena daripada larangan keras.
Begitu pula mendidik anak, gunakan kalimat yang positif, logika yang bisa dipahami, dan sentuhan hati.
5. Menanamkan Dzikir yang Bermakna

Tafsir lain dari surat At-Tahrim : 6 adalah perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu:
“Beramallah dengan ketaatan kepada Allah, jauhi maksiat kepada-Nya, dan perintahkan keluargamu berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.”
Dzikir bukan sekadar hafalan, tapi kontrol hati. Sehingga menjadi perhatian bagi kita untuk mengajarkan anak doa-doa harian dengan maknanya.
- Bangun tidur: «الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا» – mengingatkan anak bahwa hidup adalah anugerah setelah “kematian sementara.”
- Naik kendaraan: «سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا» – mengingatkan bahwa semua nikmat hanya karena Allah.
- Selesai makan: «الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا» – menumbuhkan rasa syukur.
Ajak anak menulis doa-doa ini di buku kecil. Menulis membuat mereka lebih mudah mengingat.
Ajarkan arti bacaan agar mereka paham apa yang mereka ucapkan kepada Rabb mereka.

[Baca Juga: Peta Kajian Ustadz Jogja: Rute Belajar Manhaj Salaf di Kota Pelajar]
6. Melatih Sabar dan Bertahap

Anak tidak bisa langsung berubah. Bahkan kita, orang dewasa, sulit langsung mempraktikkan semua larangan syariat.
Contohnya: larangan hasad. Ada tingkatan dalam melawan hasad, mulai dari membenci kebahagiaan orang lain, hingga yang terbaik: rela jika orang lain mendapat nikmat lebih. Semua butuh proses.
Maka saat anak belum berubah, jangan buru-buru marah. Ulangi, contohkan, dan bimbing terus. Sabar adalah kunci keberhasilan dalam mendidik.
Perlu kesabaran untuk terus melakukan perubahan. Karena kita-pun demikian, terkadang tidak bisa berubah dalam waktu singkat.
7. Amar Makruf Nahi Munkar dengan Bijak

Di bagian lain tafsir At Tahrim : 6, Ibnu Katsir membawakan perkataan Qatadah rahimahullah:
“Perintahkanlah mereka untuk taat kepada Allah, laranglah mereka dari maksiat, dan bimbinglah mereka dengan perintah Allah.”
Dalam praktiknya:
- Anak bercanda di masjid: kondisikan, bukan dimarahi. Ajak duduk di pinggir agar mudah dikontrol.
- Pilih kalimat positif: bukan “Jangan ribut!” tapi “Nak, kalau di masjid kita berjalan pelan ya.”
- Jangan tersinggung jika orang lain menasehati anak kita. Kadang anak lebih mendengar dari orang lain.
Penggunaan diksi, susunan kata, maupun metode berkomunikasi itu sangatlah penting. Rasulullah ﷺ bersabda:
«وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا»
“Sesungguhnya di antara perkataan itu ada yang mempesona bagaikan sihir.” (HR. Bukhari)
Perlu bagi kita membiasakan komunikasi yang baik, agar pesan tersampaikan dengan maksimal. Karena tanpa demikian, alih-alih menasihati, yang ada di benak sang anak malahan selalu merasa dimarahi dan terintimidasi.
8. Kerjasama Ayah dan Bunda

Pendidikan bukan tugas satu pihak. Ayah dan bunda harus saling melengkapi.
- Saat anak ingin keluar, ayah berkata: “Nak, izin dulu sama bunda, ya.”
- Demikian juga tugas bunda untuk mengingatkan: “Nak, izin dulu sama ayah, ya.”
Ini menumbuhkan rasa hormat kepada keduanya.
Bunda menyebut kebaikan ayah di hadapan anak saat ayah tidak di rumah, dan sebaliknya. Inilah subsidi silang dalam mendidik.
9. Doa dan Kedekatan Spiritual

Setelah segala usaha, jangan lupakan doa. Karena Allah-lah yang memiliki hati kita, yang memiliki hati anak-anak kita.
Kita minta kepada Allah agar memberikan kelembutan kepada hati kita dan anak-anak kita.
Doakan anak-anak setiap hari. Doa orang tua adalah senjata yang paling kuat.
10. Penutup
Anak-anak lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Merekalah amanah yang harus kita jaga. Pendidikan bukanlah perkara sehari dua hari, tapi perjalanan panjang dengan teladan, kelembutan, doa, dan kesabaran.
Anak-anak tidak sedang belajar dari kata-kata kita, tapi dari sikap kita.
Maka mari mulai hari ini, dengan kesadaran penuh, berusahalah semaksimal mungkin dan berdo’alah sesering mungkin: “Ya Allah, jagalah diriku dan keluargaku dari api neraka.”